02 June 2007

Ujian Nasional dan Hancurnya Kejujuran

PEMERINTAH sekarang agaknya mengidap penyakit keras kepala dan sulit mendengarkan protes masyarakat. Hal ini valid, sangat valid untuk kasus ujian nasional.
Padahal, ujian nasional itu semakin lama semakin banyak mudaratnya daripada maslahatnya. Ia bukan hanya melanggar undang-undang, melainkan juga membuat moral murid semakin buruk. Bahkan, ujian nasional menghancurkan guru yang jujur dan berani melaporkan kecurangan.

Pernyataan itu bukan asal bunyi. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 58 (1) jelas mengatakan bahwa 'Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan'.

Jadi, yang melakukan evaluasi belajar adalah pendidik alias guru. Dengan ujian nasional, evaluasi hasil belajar bukan dilakukan guru, melainkan praktis sesungguhnya dilakukan menteri. Evaluasi belajar juga tidak mengindahkan proses, tidak peduli dengan kemajuan murid dari waktu ke waktu, dan sudah jelas ujian nasional membunuh esensi belajar sebagai proses berkelanjutan. Tetapi mengapa kebijakan yang melanggar undang-undang itu dibiarkan, dipertahankan, bahkan dibela mati-matian oleh Presiden dan Wakil Presiden?

Ujian nasional juga terbukti menambah rusak moral peserta didik. Siswa semakin nekat untuk menyontek atau mencuri bocoran ujian.

Yang lebih parah ialah ujian nasional bahkan telah mendorong guru untuk juga terlibat dalam kecurangan agar siswanya lulus. Ujian nasional telah memerkosa integritas dan kejujuran guru.

Dan yang mengagetkan adalah yang sebaliknya pun terjadi, yaitu guru yang jujur dan berani melaporkan tindak kecurangan pada pelaksanaan ujian nasional bukan diberi apresiasi, malah diintimidasi. Itu terjadi pada guru di Medan dan Bandung. Guru-guru di Medan yang tergabung dalam Kelompok Air Mata Guru ditekan dan diminta mengundurkan diri oleh sekolah. Sedangkan Sekjen Federasi Guru Independen dan anggota tim pemantau Ujian Nasional 2007 dari Dewan Pendidikan Kota Bandung, Iwan Hermawan, terancam sanksi penundaan kenaikan pangkat selama satu tahun.

Nilai pendidikan macam apakah yang akan ditanamkan pemerintah melalui ujian nasional, jika guru yang jujur dan berani membongkar kecurangan ujian nasional justru diintimidasi dan diancam? Visi pendidikan macam apakah yang diagungkan pemerintah jika guru tidak boleh jujur dan berani mengatakan kebenaran?

Pendidikan bukan lagi wahana untuk anak bangsa ini mengembangkan diri, dari waktu ke waktu, dalam proses yang berkelanjutan. Bukan. Pendidikan adalah segala cara menuju sebuah penghakiman akhir yang bernama ujian nasional yang ditetapkan Menteri Pendidikan Nasional.

Dengan segala argumentasi, ujian nasional sudah harus dihentikan.

Namun, sekalipun protes terhadap ujian nasional terus berkumandang, pemerintah tidak peduli. Presiden dan Wakil Presiden terus membela dan mempertahankan ujian nasional yang ditetapkan Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo. Sebuah bukti, pemerintah agaknya mengidap penyakit keras kepala dan sulit mendengarkan protes masyarakat.

Lantas, apa yang mesti dilakukan? Sedikitnya ada dua langkah yang dapat diambil untuk menghentikan ujian nasional. Pertama, ada pihak yang melakukan judicial review ke Mahkamah Agung dengan dasar ujian nasional bertentangan dengan undang-undang. Kedua, DPR menunjukkan gigi dan taringnya yang tajam untuk terus menekan pemerintah.

Jika tetap tidak berhasil, para guru dan orang tua hendaknya sedikit sabar sambil mengelus dada menunggu 2009 tiba. Dalam Pemilu Presiden 2009, jangan ragu, berikanlah suaramu kepada calon presiden yang salah satu programnya adalah menghapus ujian nasional.

Pada akhirnya, dalam sistem yang demokratis, rakyat yang melakukan evaluasi suatu pemerintahan, dan menentukan sejarah selanjutnya.

Sumber : Media Indonesia
Sabtu, 02 Juni 2007
EDITORIAL


Baca selanjutnya ....

04 April 2007

GURU SEBAGAI KOMUNITAS PEMBELAJAR

Oleh Prof. Dr. Sudarwan Danim
(Guru Besar Universitas Bengkulu / Ketua PB PGRI)

Guru merupakan kunci peradaban dan keberadaban umat manusia. Bangsa, komunitas, atau individu yang tidak menerima sentuhan layanan pendidikan dan pembelajaran untuk kurun waktu relatif lama dan optimal oleh guru, cenderung terbelakang peradaban dan keberadabannya.


Secara radikal dapat dikatakan bahwa tidak ada bangsa dan komunitas yang maju, kecuali kalau bangsa dan komunitas itu bersentuhan secara intensif dan bernilai edukasi dari guru. Agaknya, juga tidak ada bangsa yang benar-benar maju kecuali kalau bangsa itu menghormati esensi dan eksistensi proses pencerdasan, peningkatan keterampilan, dan penataan afeksi, dimana gurumengintegral di dalamnya.

Inilah contohnya. Peradaban dan keberadaban suku kubu atau komunitas manusia nomaden nyaris tidak berubah, meski peradaban megapolis telah muncul, era globalisasi telah tiba, abad millenium telah datang, dan mobilitas multidimensi makin tumbuh nyaris tanpa batas. Mengapa demikian? Sosiolog sangat mungkin akan menjawabnya sebagai akibat dari ketiadaan sentuhan modernitas. Ekonom sangat mungkin menjawabnya sebagai akibat dari kemiskinan dan perut lapar secara akut lagi kronis. Berbeda dengan sosiolog, edukator akan menarik kesimpulan bahwa gejala fenomenal itu disebabkan karena mereka tidak pernah berinteraksi secara cukup dengan guru, khususnya guru-guru formal melalui wahana lembaga pendidikan persekolahan.

Komunitas yang kini menikmati hidup layak dalam suasana kecerdasan, keterampilan, afeksi, emosi, dan spirit kehidupan bertaraf tinggi adalah mereka yang pernah menjalani proses pembelajaran yang intensif dan benar. Mereka adalah orang-orang yang telah berhasil menjalani proses transformasi bernilai tambah tinggi selama berinteraksi dengan guru di sekolah-sekolah formal, mengambil manfaat dari para pelatih atau instruktur di lembaga-lembaga pendidikan nonformal, menjalani sosialisasi pertama secara baik di lingkungan keluarga, dan tumbuh sebagai pembelajar yang unggul secara mandiri. Manusia yang mencapai taraf peradaban dan keberadaban tingkat tinggi adalah mereka yang telah berhasil menjalani proses kemanusiaan dan pemanusiaan secara benar, efektif, efisien, dan manusiawi.

Pada lembaga pendidikan formal atau pendidikan, proses kemanusiaan dan pemanusiaan generasi muda menuju kedewasaan sejati meniscayakan kehadiran guru-guru formal. Guru-guru inilah yang menjadi ujung sekaligus pengarah tombak alias kunci utama proses pembelajaran di kelas dan di luar kelas, sehingga anak didik dapat menjalani proses pendidikan secara baik dan optimal. Karenanya, guru-gurulah yang menjadi kunci utama evoluai reformasi peradaban dan keberadaban manusia seumumnya.

Guru sekolah-sekolah formal, banyak dan beragam. Mulai dari mereka yang hanya memposisikan diri sebagai manusia pekerja hingga yang memandang dirinya sebagai penyandang profesi sungguhan. Guru seperti apa yang akan berhasil melakukan proses kemanusiaan dan pemanusiaan anak didik secara baik dan optimum? Mereka adalah guru-guru yang profesional dengan warna-warni perilaku dominan dan bernilai edukasi.

Pertama, pengasaan materi, keterampilan metodologi, dan penjiwaan ilmu pendidikan sebagai basis utama dalam menjalankan tugas-tugas profesional. Kedua, menjunjung tinggi harkat dan martabat diri sebagai guru, serta terus membangun esprit de corps.
Ketiga, memiliki empati mendalam terhadap anak didik dan secara kontinyu membangun semangat untuk menyelamatkan generasi. Keempat, tidak pernah kehilangan semangat untuk menjalani proses profesionalisasi (usaha untuk mencapai taraf profesional sungguhan secara terus-menerus) sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan tuntutan masyarakat. Kelima, menjalankan tugas-tugas profesional keguruan merupakan panggilan nurani terdalam dan pilihan karir hingga pensiun. Keenam, ketika memasuki era purnatugas, tetap menampilkan keteladanan sebagai guru. Untuk dapat menjelma dengan sosok yang demikian ini, guru harus mampu menjelma sebagai komunitas pembelajar sebagai ciri khasnya.

Kata “pembelajar” merujuk pada subjek yang belajar dan secara konsisten melakukan perbuatan belajar itu. Belajar merupakan proses bernilai tambah dilihat dari metamorfosis perilaku. Mengikuti pengalaman di dunia biologi, metamorfosis bermakna perubahan menuju “kesempurnaan” atau keutuhan bentuk. Jadi, metamorfosis perilaku yang dimaksudkan di sini adalah sebuah tatanan tindak-tanduk manusia menuju kesejatiannya sebagai makhluk insani.

Apakah yang dimaksud dengan guru sebagai komunitas pembelajar itu? Guru sebagai komunitas pembelajar dapat diberi makna seperti berikut ini. Pertama, berusaha mengenali hakikat dan kesejatian dirinya, potensi dan bakat-bakat terbaiknya. Kedua, berusaha menjadikan apa yang dia ketahui, dia alami, dan dia dengar sebagai nilai tambah untuk berbuat lebih arif. Ketiga, berusaha untuk tidak cepat dan tidak pernah puas atas capaian terbaik sekalipun dalam sejarah hidupnya.

Keempat, berusaha menjunjung tinggi citra diri, harkat dan martabat, serta membangun citra diri hingga benar-benar mengesankan sebagai pembimbing, pendidik, pengajar, dan pelatih sejati. Kelima, berusaha secara optimal untuk mengaktualisasikan segenap potensi diri, mengekspresikan dan menyatakan dirinya secara penuh dan utuh menjadi dirinya, bukan menjadi orang lain. Keenam, berusaha untuk tumbuh dan berkembang dari dependen menjadi independen, untuk kemudian menjadi interdependen dan berinterkoneksi atau bersinergi dengan dengan subjek lain secara produktif, bermakna, dan saling menyenangkan.

Tugas guru, karenanya, bagaimana melakukan reformasi atau pembaruan mental agar menjadi komunitas pembelajar dan ikut membentuk lingkungan belajar itu sendiri menjadi sesuai dengan yang diinginkan. Ketika kesadaran diri sebagai komunitas pembelajar telah menyentuh tataran mental dan kalbu sebagai guru, godaan apa pun yang mengarah kepada deprofesionalisasi profesi akan sangat sulit menembusnya.
Membangun kesadaran guru sebagai komunitas pembelajar sangat mungkin memakan waktu lama. Hal ini disebabkan karena sifatnya menenyentuh tataran nurani guru yang paling dalam. Upaya mereformasi mental tidak sama dengan merenovasi atau membuat bentuk baru sebuah bangunan fisik. Bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun waktu diperlukan untuk mencapai tingkat reformasi mental, hingga benar-benar menjadi budaya kerja sebagai guru.

Inilah tantangan berat bagi guru-guru dengan multitugasnya itu. Pada satu sisi guru-guru perlu kesabaran, namun pada sisi yang lain lagi guru-guru yang sabar itu agaknya makin langka. Bersamaan dengan itu, geliat kencang peradaban milenium tidak dapat dihindari dan akan terus menerpa kita, khususnya godaan material yang ingin dicapai secara instan.

Penjelmaan guru sebagai komunitas pembelajar merupakan kunci pembentukan sekolah sebagai lingkungan belajar yang sesungguhnya. Usaha untuk membangun sekolah sebagai lingkungan belajar sejati ini agaknya harus bergerak dari guru tidak mau belajar lagi, dikondisikan agar tumbuh kesadaran belajar, dan menjadikan belajar sebagai sebuah kebutuhan.

Guru-guru yang telah sampai pada kondisi “menjadikan belajar untuk mengajar dan belajar dari pengalaman mengajar” memiliki potensi untuk memperoleh ganjaran yang sesuai. Pemberian hadiah bagi guru berprestasi, penghargaan tinggi atas karya ilmiah/karya pengembangan profesi, pemberian hadiah kepada guru-guru yang mampu menunjukkan hasil terbaik dalam proses pembelajaran, dan lain-lain adalah bentuk riel dari ganjaran itu. Ketika memasuki fase sadar belajar, ketika itu pula guru telah menjadi komunitas pembelajar. Ciri utamanya adalah:

1. Merasa malu jika tidak belajar untuk hidup dan memperdalam bahan ajar untuk kepentingan anak didiknya.
2. Merasa bersalah jika menghindari sajian materi tertentu dalam kurikulum karena tidak dimengerti.
3. Lebih mengutamakan berdiskusi soal bahan ajar ketimbang diskusi dengan topik lain tatkala berada di kantor sekolah.
4. Lebih mengandalkan kemampuan diri ketimbang memberi tugas semata.
5. Tidak cepat merasa puas atas capaian daya serap anak dalam belajar.
6. Menjadikan belajar sebagai kebutuhan utama sebagai pengajar.

Membangun mental guru dari tidak lazim atau malas belajar (merangsang diri untuk terus tumbuh secara profesional) ke mental rajin belajar atau bermental sebagai komunitas pembelajar demi pencapaian proses dan hasil pembelajaran di sekolah secara optimal, tidak cukup dengan mengandalkan perubahan internal dari mereka secara orang seorang. Pengorganisasian lingkungan belajar di masyarakat, hingga menjadi kondusif sebagai wahana pembelajaran umum pun merupakan keniscayaan bagi terbangunnya lingkungan belajar itu. Karenanya, lingkungan belajar guru, siswa, dan masyarakat seumumnya yang diharapkan adalah yang menjelma seperti berikut ini.

No. Dimensi Ciri Dominan
1 Lingkungan pendidikan persekolahan a. Tercipta disiplin sekolah yang mendorong terbentuknya disiplin belajar guru dan anak.
b. Guru menjadi kunci utama layanan pendidikan dan pembelajaran, termasuk pengembangan.
c. Kesehatan, keamanan, dan kenyamanan belajar terjamin di lingkungan sekolah; termasuk jaminan kesejahteraan.
d. Tersedia buku dan sarana pembelajaran yang lengkap, termasuk jaringan teknologi informasi bagi keperluan pendidikan dan pembelajaran.
e. Keteladanan guru sebagai masyarakat terpelajar.
f. Kinerja profesional guru yang terandalkan, dan guru mampu mampu memberi sugesti kepada subjek didiknya.
g. Kinerja sumberdaya tatalaksana dan teknikal yang optimal.
h. Penetapan kriteria prestasi dan hukuman bagi guru dalam melakukan tugas-tugas pembelajaran.
i. Bahan ajar sebagai fokus utama diskusi guru secara antarrekan.
2 Lingkungan rumah tangga a. Sebagai orang tua, guru menjadi komunitas belajar atau pembaca.
b. Sebagai orang tua, guru menemani anaknya sendiri dalam belajar, bukan sekadar menyuruh anaknya belajar.
c. Guru memiliki jadwal belajar untuk menyiapkan bahan ajar dan memeriksa tugas-tugas anak didiknya, termasuk anaknya sendiri.
d. Sebagai orang tua, guru memantau kegiatan belajar anaknya sendiri dan merefleksi kegiatan belajar anak didiknya.
e. Sebagai orang tua, guru memantau kemajuan belajar anaknya sendiri.
f. Tersedia ruang belajar khusus bagi guru dan anak-anaknya.
g. Tersedia perpustakaan pribadi atau perpustakaan keluarga dengan beragam koleksi.
h. Buku dan sumber informasi lain menjadi barang konsumsi guru sebagai kepala keluarga.
3 Lingkungan jaring-jaring kemasyarakatan a. Keteladanan dan figuritas perilaku masyarakat umum sebagai komunitas belajar
b. Suasana edukatif, dewasa, toleransi, saling menghargai, dan keterpelajaran di masyarakat
c. Komitmen jaring-jaring kemasyarakatan menyediakan sumberdaya belajar, semisal perpustakaan, taman bacaan, sentra informasi, dan jaringan telekomunikasi
d. Pelembagaan sikap dan sistem meritokrasi atau pendekatan prestasi di masyarakat, termasuk dalam kerangka rekrutmen
e. Masyarakat memililiki gairah membangun pranata pendidikan, baik formal maupun nonformal dengan standar mutu yang sama dengan lembaga sejenis di mana pun
f. Tersedia wahana penampungan bagi anak-anak putus sekolah atau anak-anak yang memilih pendidikan alternatif
g. Lembaga pemerintahan memiliki komitmen tinggi terhadap pendidikan, misalnya, di bidang pendanaan dan penyediaan fasilitas

Di lihat dari persepektif pendidikan persekolahan, penjelmaan guru sebagai komunitas pembelajar bermakna terbangunnya lingkungan sekolah yang kondusif bagi peningkatan mutu proses dan produk pembelajaran secara utuh dan bermutu. Mutu dimaksud berkaitan dengan masukan, proses, keluaran, dan daya guna lulusan di masyarakat. Pada tataran yang lebih luas, lingkungan birokrasi pendidikan, pengawas, dan kepala sekolah sebagai administrator/manajer bertanggungjawab agar guru terus tumbuh dan berkembang menjadi menjadi komunitas pembelajar. Terbentuknya guru menjadi komunitas pembelajar akan membuat mereka terhindar dari perilaku berkinerja di bawah standar ideal.

Bagi sebagian besar guru, membangun kebiasaan-diri untuk menjadi komunitas pembelajar mungkin merupakan pekerjaan yang sangat sulit. Hanya guru-guru berprestasi dan subgguh-sungguh mencintai profesinyalah yang akan menjelma sebagai pribadi atau komunitas pembelajar. Sebagai komunitas pembelajar, guru-guru belajar dari banyak hal, misalnya, dari pengalaman keberhasilan atau kegagalan orang lain, dan pengalaman diri sendiri yang bersifat sukses atau yang bersifat gagal. Juga dari buku-buku, jurnal, majalah, koran, hasil-hasil penelitian, hasil observasi, hingga yang bersifat spontan. Untuk dapat menjadi komunitas pembelajar, setidaknya guru harus menjunjung tinggi lima pilar utama dalam perilaku keseharian.

1. Rasa ingin tahu. Inilah merupakan awal mula dari seorang atau sekelompok guru untuk menjadi insan berpengetahuan. Guru yang memiliki rasa ingin tahu yang tinggi adalah pembelajar sejati.
2. Optimisme. Inilah modal dasar seorang atau sekelompok guru untuk tidak mudah menyerah dengan aneka keadaan lingkungan masyarakat dan lingkungan sekolah yang sering digambarkan sebagai buram. Adakalanya, bahkan mungkin banyak terjadi, karena tampil pesimis, guru tiba-tiba menghentikan usaha atau perjuangannya untuk berhasil mengemban tugas-tugas profesi ketika sesungguhnya keberhasilan itu sudah amat dekat untuk dicapai, misalnya, perbaikan proses dan hasil belajar siswa.
3. Keikhlasan. Guru-guru yang ikhlas dalam menjalankan tugas-tugas keprofesian nyaris tidak mengenal lelah, demi pendidikan dan pembelajaran anak didiknya. Dia selalu bergairah pada setiap keadaan. Banyak siasat, strategi, atau akal baru yang bakal muncul ketika guru berpikir dan memutuskan untuk berbuat bagi anak didiknya. Muncul juga “enerji kedua” (second win) dari diri guru, ketika dia sudah mulai merasa kelelahan tatkala masih diperlukan waktu cukup panjang dan enerji cukup besar untuk menyelesaikan tugas pekerjaan. Sebaliknya, guru-guru yang tidak ikhlas, akan mencari argumen untuk meligitimasi argumen “tidak mungkin” yang diucapkannya.
4. Konsistensi. Barangkali masih banyak guru yang bekerja dalam format “keras kerak, yang tersiram air sedikit saja menjadi lembek”, “tergoda dengan hal baru lalu meninggalkan keputusan yang telah dibuat dan tengah dicoba dijalankan”, dan sebagainya. Sehabis mengikuti penataran mereka begitu bersemangat, namun dalam sekejap semangat itu hilang. Semangat mereka pun menurun tajam, ketika mengalami kesulitan untuk naik pangkat ke golongan tertentu.
5. Pandangan visioner. Pandangan jauh ke depan, melebihi batas-batas pemikiran guru kebanyakan. Guru-guru yang termasuk kelompok ini jarang sekali tergoda untuk melakukan apa saja demi hasil yang instan, mengejar target jangka pendek dengan mengorbankan kepentingan jangka panjang. Misalnya, melakukan manipulasi hasil ujian demi mengangkat citra diri secara semu di mata kepala sekolah atau atasannya.
Saat ini, ketika globalisasi dan korporatisasi terus bereskalasi pada skala tinggi, tuntutan profesionalisme pada aneka ranah kehidupan dan pekerjaan, termasuk di lingkungan institusi pendidikan, makin menjadi keniscayaan. Implikasi logisnya, pekerjaan pendidikan yang tadinya identik dengan mengajar, kini berkembang pada hal-hal yang berkaitan dengan perlunya kapasitas kepemimpinan pada institusi yang memberikan layanan massa itu. Jadi, kehadiran guru lebih dari sekadar seorang pendidik.

Guru pun bukan lagi sebatas orang yang melakukan transfer pengalaman laksana menuangkan air ke dalam botol. Melainkan, di ruang belajar, di lingkungan kampus sekolah guru harus mampu tampil sebagai pemimpin atau manajer untuk menjelmakan diri sebagai agen pembelajaran sejati. Hanya guru yang mampu menjadi manajer kelaslah, yang akan dapat menciptakan kondisi pendidikan dan pembelajaran yang baik. Hanya guru yang mempunyai sifat-sifat kepemimpinanlah yang akan mampu melakukan fungsi penggerakan kepada peserta didik, baik dalam kerangka kegiatan ekstra kurikuler, kokurikuler, maupun kurikuler.

Kapasitas riset atau penelitian pun telah menjadi tuntutan bagi guru-guru, terutama riset tindakan kelas. Kemampuan dan keterampilan di bidang riset tindakan kelas ini merupakan instrumen utama bagi guru dalam kerangka melahirkan inovasi baru di bidang pendidikan dan pembelajaran, disamping untuk keperluan membaca hasil penelitian yang relevan. Di negara-negara maju, secara radikal pengajaran dan penelitian direstrukturisasi untuk menemukan kebutuhan-kebutuhan baru di bidang pengetahuan yang bernilai ekonomis dan mendukung transformasi substansi material pembelajaran.

Ketika pendidikan dan pelatihan, termasuk penelitian dan pengembangan, tetap menjadi andalan utama pengembangan SDM, komunitas pendidikan sebagai kelompok pembelajar harus mengemas menu sajian yang membumi, dibutuhkan oleh penggunanya. Mereka harus menghindari perilaku yang esoteris, yaitu upaya mengemas menu sajian dan menyampaikannya hanya dapat dipahami oleh kelompoknya sendiri.

Sebagai komunitas pembelajar, guru, harus mampu bertindak secara signifikan untuk memotivasi perubahan perilaku belajar peserta didik masyarakat. Peserta didik dan generasi mudah harus menjadi fokus utama mereka, karena kelompok inilah yang akan menjadi pelanjut generasi, sekaligus mewariskan tradisi sebagai generasi pembelajar. Pada sisi lain, kelompok ini pula yang akan menikmati penderitaan, ketika terjadi salah asuh oleh generasi sebelumnya, apalagi telah mewaris secara temurun.

Di dalam UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) disebutkan bahwa pendidik, khususnya guru, merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melaksanakan penelitian dan pengabdian pada masyarakat. UU Sisdiknas kita secara jelas mengamanatkan bahwa guru harus mampu tampil profesional dan menunjukkan profesionalismenya, baik di kelas maupun di luar kelas.

Hingga kini penyelenggaraan pendidikan kita masih menghadapi permasalahan yang menuntut pemecahan, khususnya pada sektor “guru” sebagai ujung tombak penyelenggaraan dan proses pendidikan dan pembelajaran formal. Secara garis besar, masalah-masalah yang kita hadapi di sektor keguruan mencakup: (1) jumlah, (2) mutu, (3) penyebaran, (4) kesejahteraan, (5) perlindungan hukum dan perlundungan profesi; dan (6) masalah manajemen atau pengelolaan. Kelahiran Undang-undang Guru yang telah memperoleh izin prakarsa dari Presiden RI sekaligus hak inisiatif DPR diharapkan dapat memecahkan masalah-masalah di bidang keguruan di Indonesia, termasuk masalah peningkatan profesionalisme dan kesejahteraan guru.

Dilihat dari sejarahnya, RUU Tentang Guru telah menempuh perjalanan cukup panjang. Direktorat Tenaga Kependidikan, Ditjen Dikdasmen, Depdiknas bekerjasama dengan instansi terkait seperti PB-PGRI, Lembaga Advokasi Pendidikan, akademisi, serta elemen-elemen masyarakat lainnya sejak awal tahun 1999 telah berdiskusi intensif dan merancang draf Naskah Akademik dan RUU Tentang Guru.

Mengapa UU Tentang Guru dipandang urgen? Urgensi Undang-undang Guru disajikan berikut ini. Pertama, untuk memberikan perlindungan profesi bagi pelaksanaan pekerjaan/jabatan guru. Kedua, memberikan jaminan perlindungan hukum bagi guru untuk memperoleh hak-haknya sebagai pengemban profesi yang tidak saja layak manusiawi, tetapi juga sesuai dengan nilai keterampilan dan keahlian yang dimilikinya.
Ketiga, sebagain instrumen hukum untuk memberikan sanksi bagi guru-guru yang melanggar hukum atau kode etik. Keempat, memberikan jaminan perlindungan hukum bagi guru dalam menghadapi ancaman dan/atau tindakan siswa, orang tua/wali siswa, dan anggota masyarakat.

Kelima, memberikan jaminan tersedianya calon guru yang berkemampuan tinggi dalam menjalankan tugas-tugasnya sebagai sebuah profesi, karena dengan itu jabatan/pekerjaan guru akan kembali dihormati dan dihargai secara layak, sehingga seorang guru tidak akan tertarik untuk pindah ke lapangan pekerjaan lain karena dinilainya lebih menjanjikan masa depan yang baik.

Keenam, memberikan jaminan bahwa jabatan/pekerjaan guru akan menjadi bidang pekerjaan atau profesi pilihan generasi muda yang potensial atau berkemampuan tinggi, karena selain menarik juga dapat memenuhi kebutuhan hidupnya secara manusiawi. Ketujuh, untuk memberikan jaminan kepastian hukum bagi siswa, orang tua dan masyarakat dalam menerima pelayanan pendidikan yang profesional.
Kedelapan, memberikan jaminan bahwa para guru akan memiliki motivasi kerja yang tinggi dalam melaksanakan jabatan/pekerjaannya, diiringi dengan akan semakin meningkatnya dedikasi, loyalitas dan komitmen pengabdiannya pada penyelenggaraan pendidikan jalur sekolah dan luar sekolah yang berkualitas.

Kesembilan, memberikan jaminan pada meningkatnya kesadaran dan tanggung jawab profesionalitas dalam bekerja, dengan memiliki motivasi yang tinggi untuk terus-menerus berusaha meningkatkan kompetensinya sebagai guru profesional sesuai dengan kualifikasi yang dituntut atau dipersyaratkan oleh jenis dan jenjang sekolah tempatnya bertugas/bekerja.

Kesepuluh, memberikan jaminan pada kesediaan guru untuk menunaikan tugas profesionalnya secara kreatif dengan terus mengembangkan gagasan/inisiatif, inovasi dan pembaharuan sesuai dengan perkembangan IPTEK di masa sekarang dan di masa yang akan datang.

Kesebelas, memberikan jaminan pada peningkatan tanggung jawab sebagai guru profesional dalam melaksanakan pengabdian karena setiap penampilannya akan dinilai tidak saja oleh pengawas pendidikan, tetapi juga oleh berbagai pihak seperti siswa, orang tua/wali siswa dan bahkan masyarakat, sehingga apabila disalahgunakan akan dikenai sanksi/hukuman sesuai ketentuan hukum yang berlaku, yang akan merugikan dirinya sendiri.

Keduabelas, memberikan jaminan pada dihasilkannya para lulusan pendidikan sebagai SDM berkualitas yang mampu mandiri dalam memasuki lapangan pekerjaan yang akan memberikan penghasilan untuk dapat hidup layak dalam persaingan global yang semakin ketat dan berat.

Sejalan dengan semangat mewujudkan UU Guru, tanggal 2 Desember 2004, Presiden Susilo Bambang Yudoyono telah mencanangkan “guru sebagai profesi”. Kehadiran UU Guru dan pencanangan “guru sebagai profesi” membawa beberapa implikasi, setidaknya pada tataran hipotetik. Pertama, calon guru yang akan direkrut adalah mereka yang telah lulus pendidikan profesi guru, dibuktikan dengan sertifikat profesi guru yang diperoleh setelah menyelesaikan jenjang sarjana. Kedua, pada masing-masing daerah, setidaknya di tingkat provinsi, harus dibangun lembaga pendidikan profesi guru.
Ketiga, guru-guru yang berlatar belakang non-S1 perlu menempuh pendidikan lanjut hingga mencapai kualifikasi akademik S1, dengan kekecualian khusus. Keempat, guru-guru yang ada sekarang harus mengikuti uji kompetensi untuk memperoleh sertifikat kompetensi, dimana hal itu perlu dilakukan secara kontinyu, misalnya lima tahun sekali.

Kelima, guru-guru yang belum memenuhi standar kompetensi harus mengikuti pelatihan sampai dengan layak menerima sertifikat kompetensi/profesi. Keenam, sistem remunerasi guru akan mengalami penyesuaian hingga profesi guru benar-benar menarik bagi generasi muda dan orang-orang yang potensial untuk menjadi guru. Ketujuh, tuntutan ini akan berimplikasi, bahwa guru-guru yang eksis ke depan adalah mereka yang benar-benar menjadi komunitas pembelajar.

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Lima Puluh Tahun Perkembangan Pendidikan Indonesia, 1995, Jakarta.

Direktorat Tenaga Kependidikan, Naskah Akademik Undang-Undang Guru, 2002, Jakarta.

Republik Indonesia, Tap MPR No. IV/MPR/1999 Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999 – 2004, Jakarta: Sinar Grafika

Republik Indonesia, UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta: Depdiknas

Sudarwan Danim, Agenda Pembaruan Sistem Pendidikan, 2003, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Sudarwan Danim, Inovasi Pendidikan: Dalam Rangka Profesionalisme Tenaga Kependidikan, 2003, Bandung: Pustaka Setia

Sudarwan Danim, Menjadi Komunitas Pembelajar: Kepemimpinan Transformasional Organisasi Pembelajaran, 2003, Jakarta: Bumi Aksara

Baca selanjutnya ....

TEKNIK PENULISAN KOLOM

Farid Gaban, Majalah TEMPO

Mencari ide tulisan
Ada banyak sekali tema di sekitar kita. Namun kita hanya bisa menemukannya jika memiliki kepekaan. Jika kita banyak melihat dan mengamati lingkungan, lalu menuliskannya dalam catatan harian, ide tulisan sebenarnya “sudah ada di situ” tanpa kita perlu mencarinya.
Tema itu bahkan terlalu banyak sehingga kita kesulitan memilihnya. Untuk mempersempti pilihan, pertimbangkan aspek signifikansi (apa pentingnya buat pembaca) dan aktualitas (apakah tema itu tidak terlampau basi).


Merumuskan masalah
Esai yang baik umumnya ringkas (“Less is more” kata Ernest Hemingway) dan fokus. Untuk bisa menjamin esai itu ditulis secara sederhana, ringkas tapi padat, pertama-tama kita harus bisa merumuskan apa yang akan kita tulis dalam sebuah kalimat pendek.
Rumusan itu akan merupakan fondasi tulisan. Tulisan yang baik adalah bangunan arsitektur yang kokoh fondasinya, bukan interior yang indah (kata-kata yang mendayu-dayu) tapi keropos dasarnya.

Mengumpulkan Bahan
Jika kita rajin menulis catatan harian, sebagian bahan sebenarnya bisa bersumber pada catatan harian itu. Namun seringkali, ini harus diperkaya lagi dengan bahan-bahan lain: pengamatan, wawancara, reportase, riset kepustakaan dan sebagainya.

Menentukan bentuk penuturan
Beberapa tema tulisan bisa lebih kuat disajikan dalam bentuk dialog. Tapi, tema yang lain mungkin lebih tepat disajikan dengan lebih banyak narasi serta deskripsi yang diperkaya dengan anekdot. Beberapa penulis memilih bentuk penuturan yang ajeg untuk setiap tema yang ditulisnya:

- Dialog (Umar Kayam)
- Reflektif (Goenawan Mohamad)
- Narasi (Faisal Baraas, Bondan Winarno, Ahmad Tohari)
- Humor/Satir (Mahbub Junaedi)

Menulis
Tata Bahasa dan Ejaan: Taati tata bahasa Indonesia yang baku dan benar. Apakah ejaan katanya benar, di mana meletakkan titik, koma dan tanda hubung? Apakah koma ditulis sebelum atau sesudah penutup tanda kutip (jika ragu cek kebuku rujukan Ejaan Yang Disempurnakan).

Akurasi Fakta: tulisan nonfiksi, betapapun kreatifnya, bersandar pada fakta. Apakah peristiwanya benar-benar terjadi? Apakah ejaan nama kita tulisa secara benar? Apakah rujukan yang kita tulis sama dengan di buku atau kutipan aslinya? Apakah kita menyebutkan nama kota, tahun dan angka-angka secara benar?

Jargon dan Istilah Teknis: hindari sebisa mungkin jargon atau istilah teknis yang hanya dimengerti kalangan tertentu. Kreatiflah menggunakan deskripsi atau anekdot atau metafora untuk menggantikannya. Hindari sebisa mungkin bahasa Inggris atau bahasa daerah.

Sunting dan Pendekkan: seraya menulis atau setelah tulisan selesai, baca kembali. Potong kalimat yang terlalu panjang; atau jadikan dua kalimat. Hilangkan repetisi. Pilih frase kata yang lebih pendek: melakukan pembunuhan bisa diringkas menjadi membunuh. “Tidak” sering bisa diringkas menjadi “tak”, “meskipun” menjadi “meski” dan sebagainya.

Pakai kata kerja aktif: kata kerja aktif adalah motor dalam kalimat, dia mendorong pembaca menuju akhir, mempercepat bacaan. Kata kerja pasif menghambat proses membaca. Pakai kalimat pasif hanya jika tak terhindarkan.

Tak menggurui: meski Anda perlu menunjukkan bahwa Anda menguasai persoalan (otoritatif dalam bidang yang ditulis) hindari bersikap menggurui. Jika mungkin hindari kata “seharusnya”, “semestinya” dan sejenisnya. Gunakan kreatifitas dan ketrampilan mendongeng seraya menyampaikan pesan. Don’t tell it, show it.

Tampilkan anekdot: jika mungkin perkaya tulisan Anda dengan anekdot, ironi dan tragedi yang membuat tulisan Anda lebih “basah” dan berjiwa.

Jangan arogan: orang yang tak setuju dengan Anda belum tentu bodoh. Hormati keragaman pendapat. Opini Anda, bahkan jika Anda meyakininya sepenuh hati, hanya satu saja kebenaran. Ada banyak kebenaran di “luar sana”.

Uji Tulisan Anda: minta teman dekat, saudara, istri, pacar untuk membaca tulisan yang sudah usai. Dengarkan komentar mereka atau kritik mereka yang paling tajam sekalipun. Mereka juga seringkali bisa membantu kita menemukan kalimat atau fakta bodoh yang perlu kita koreksi sebelum diluncurkan ke media.

Baca selanjutnya ....

Kegundahan K.H. Musthofa Bisri

KAU INI BAGAIMANA ATAWA AKU HARUS BAGAIMANA

Kau ini bagaimana?

Kau bilang Aku merdeka, Kau memilihkan untukku segalanya
Kau suruh Aku berpikir, Aku berpikir Kau tuduh Aku kapir

Aku harus bagaimana?

Kau bilang bergeraklah, Aku bergerak Kau curigai
Kau bilang jangan banyak tingkah, Aku diam saja Kau waspadai

Kau ini bagaimana?

Kau suruh Aku pegang prinsip, Aku memegang prinsip Kau tuduh Aku kaku
Kau suruh Aku toleran Kau bilang Aku plin-plan

Aku harus bagaimana?

Aku Kau suruh maju, Aku maju Kau srimpung kakiku
Kau suruh Aku bekerja, Aku bekerja Kau ganggu Aku

Kau ini bagaimana?

Aku kau suruh menghormati hukum, kebijaksanaanmu menyepelekannya
Aku Kau suruh berdisiplin, Kau menyontohkan yang lain

Aku harus bagaimana?

Kau bilang Tuhan sangat dekat, Kau sendiri memanggilnya dengan pengeras suara tiap saat
Kau bilang Kau suka damai, Kau ajak Aku setiap hari bertikai

Aku harus bagaimana?

Aku Kau suruh membangun, Aku membangun Kau merusaknya
Aku Kau suruh menabung, Aku menabung Kau menghabiskannya

Kau ini bagaimana?

Kau suruh Aku menggarap sawah, sawahku Kau tanami rumah-rumah
Kau bilang Aku harus punya rumah, Aku punya rumah Kau meratakannya dengan tanah

Kau ini bagaimana?

Aku Kau larang berjudi, permainan spekulasimu menjadi-jadi
Aku Kau suruh bertanggung jawab, Kau sendiri terus berucap Wallahu a'lam bissawab

Kau ini bagaimana?

Kau suruh Aku jujur, Aku jujur Kau tipu Aku
Kau suruh Aku sabar, Aku sabar Kau injak tengkukku

Aku harus bagaimana?

Aku Kau suruh memliihmu sebagai wakilmu, sudah kupilih Kau bertindak semaumu
Kau bilang Kau selalu memikirkanku, Aku sapa saja Kau merasa terganggu

Kau ini bagaimana?

Kau bilang bicaralah, Aku bicara Kau bilang Aku ceriwis
Kau bilang jangan banyak bicara, Aku bungkam Kau tuduh Aku apatis

Aku harus bagaimana?
Aku harus bagaimana?

Kau bilang kritiklah, Aku kritik Kau marah
Kau bilang cari alternatifnya, Aku kasih alternatif Kau bilang jangan mendikte saja

Kau ini bagaimana?

Aku bilang terserah Kau, Kau tidak mau
Aku bilang terserah kita, Kau tak suka
Aku bilang terserah Aku, Kau memakiku

Kau ini bagaimana?
Aku harus bagaimana?

(K.H.A. Mustofa Bisri, 1987)


Baca selanjutnya ....

08 November 2006

IDUL FITRI

Idul fitri mengandung pesan agar yang merayakannya mewujudkan kedekatan kepada Allah dan sesama manusia. Kedekatan tersebut diperoleh antara lain dengan kesadaran terhadap kesalahan yang telah diperbuat. Bila itu sudah dilakukan, maka sesungguhnya dia telah mendapatkan keberuntungan.
Kata ‘id terambil dari akar kata yang berarti “kembali”, yakni kembali ke tempat atau ke keadaan semula. Ini berarti bahwa sesuatu yang kembali pada mulanya berada pada suatu keadaan atau tempat tertentu, kemudian meninggalkan tempat atau keadaan itu, lalu kembali (dalam arti) ke tempat atau kedaan semula. Nah, apakah keadaan atau tempat semula itu?

Hal ini dijelaskan oleh kata fithr, yang antara lain berarti “asal kejadian”, “agama yang benar”, atau “kesucian”. Dalam pandangan al-Quran, asal kejadian manusia bebas dari dosa dan suci, sehingga ‘idul fithri antara lain berarti kembalinya manusia kepada keadaan suci, atau keterbatasannya dari segala dosa dan noda, sehingga dengan demikian ia berada dalam kesucian. Dosa memang mengakibatkan manusia menjauh dari posisinya semula, baik kedekatan posisinya terhadap Allah maupun sesama manusia. Demikianlah salah satu kesan yang diperoleh dari sekian banyak ayat al-Quran.

Ketika Adam dan Hawa berada di surga, Allah menyampaikan pesan, Janganlah mendekati pohon ini (QS al-Baqarah [2]: 35). Namun begitu, keduanya melanggar perintah Allah karena berdosa dengan memakan buah pohon itu, Al-Quran menyatakan, Maka Tuhan mereka menyeru keduanya, “Bukankah Aku telah melarang kamu berdua mendekati pohon itu?” (QS al-A’raf [7]: 22).

Kesan yang ditimbulkan oleh redaksi ayat-ayat di atas antara lain: Pertama, sebelum terjadinya pelanggaran, Allah bersama Adam dan Hawa berada pada suatu posisi yang berdekatan, yakni masing-masing tidak jauh dari pohon terlarang. Karena itu, isyarat kata yang dipergunakan untuk menunjuk pohon adalah isyarat dekat, yakni “ini”. Tetapi, ketika Adam dan Hawa melanggar, mereka berdua menjauh dari posisi semula, dan Allah pun demikian, sehingga Allah harus “menyeru mereka” (yakni berbicara dari tempat yang jauh), dan ini pula yang menyebabkan Tuhan menunjuk pohon terlarang itu dengan isyarat jauh, yakni “itu” (perhatikan kembali bunyi ayat-ayat di atas).

Di sini terlihat bahwa, baik Adam maupun Allah, masing-masing menjauh. Tetapi jika mereka kembali, masing-masing akan mendekat hingga pada akhirnya akan berada pada posisi semula, sebagaimana ditegaskan al-Quran:

“Jika hamba-hamba-Ku (yang taat dan menyadari kesalahannya) bertanya kepadamu tentang Aku, sesungguhnya Aku dekat, dan memperkenankan permohonan jika mereka bermohon kepada-Ku”. (QS. al-Baqarah [2]: 186).

Kesadaran manusia terhadap kesalahannya mengantarkan Allah mendekat kepadanya. Pada gilirannya, hal itu akan menyebabkan manusia bertaubat. Perlu diingat bahwa taubat secara harfiah berarti “kembali”, sehingga dengan demikian Allah pun akan kembali pada posisi semula. Al-Quran memperkenalkan dua pelaku taubat, yaitu manusia dan Allah Swt.

“Adam menerima kalimat-kalimat dari Tuhannya, maka Dia (Allah) menerima taubatnya. Sesungguhnya Dia Maha Penerima taubat lagi Maha Pengasih”. (QS al-Baqarah [2]: 37).

Walau bukan kembali dalam konteks memohon ampun, namun dapat diperoleh kesan dari firman-Nya yang menyatakan, “Jikalau kamu kembali, Kami pun akan kembali” (QS Al-Isra’ [17]: 8), bahwa Allah selalu rindu akan kembalinya manusia kepada-Nya.

Hadis Nabi Saw. pun menjelaskan bahwa Allah berfirman:

“Apabila hamba-Ku mendekat kepada-Ku (Allah) sejengkal, Aku mendekat kepadanya sehasta. Bila ia mendekat kepada-Ku sehasta, Aku mendekat kepadanya sedepa. Bila ia datang kepada-Ku dengan berjalan, Aku akan datang menemuinya dengan berlari”. (HR. Bukhari dari Anas bin Malik).

Kegembiraan Allah itu tercermin dari hadis Rasulullah Saw. yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Anas bin Malik, yaitu:

“Allah lebih gembira karena taubatnya seseorang pada saat ia bertaubat dari salah seorang diantara kamu yang mengendarai binatang kendaraannya di padang pasir, kemudian binatang itu pergi menjauh padahal di pundak binatang itu terdapat makanan dan minumannya. Dia berputus asa untuk menemukannya kembali, hingga ia berbaring di bawah naungan pohon, dan tiba-tiba saja binatang tadi muncul di hadapannya. Lantas dia pun memegang tali kendalinya sambil berkata saking gembiranya, “Ya Allah, Engkau adalah hambaku dan Aku Tuhanmu”.

Dalam konteks hubungan manusia dengan sesamanya, dapat ditarik kesan dari penamaan manusia dengan kata al-Insan. Kata ini -- menurut sebagian ulama -- terambil dari kata uns yang berarti “senang” atau “harmonis”, sehingga dari sini dapat dipahami bahwa pada dasarnya manusia selalu merasa senang dan memiliki potensi untuk menjalin hubungan harmonis antar sesamanya. Dengan melakukan dosa terhadap sesama manusia, hubungan tersebut menjadi terganggu dan tidak harmonis lagi. Namun, manusia akan kembali ke posisi semula (harmonis) pada saat ia menyadari kesalahannya dan berusaha mendekat kepada siapa yang pernah ia lukai hatinya.

Minal ‘Aidin wal Faizin

Salah satu ucapan populer dalam konteks Idul Fitri adalah “Minal ‘Aidin wal Faizin”. Kata ‘Aidin adalah bentuk pelaku ‘id. Kata al-faizin adalah bentuk jamak dari faiz, yang berarti orang yang beruntung. Kata ini terambil dari kata fauz yang berarti keberuntungan.

Dalam al-Quran ditemukan sebanyak 29 kali kata tersebut dengan berbagai bentuknya. Masing-masing 18 kali dalam bentuk kata jadian fauz/al-fauz (keberuntungan), tiga kali dalam bentuk mafaz (tempat keberuntungan), dua kali dalam bentuk kata kerja faza (beruntung), empat kali dengan bentuk al-faizin, dan hanya sekali dalam bentuk kata kerja tunggal. Yang terakhir ini diucapkan oleh orang munafik yang menyesal karena tidak ikut berperang bersama-sama orang Islam, sehingga ia tidak memperoleh pembagian harta rampasan perang, seperti dijelaskan dalam al-Quran:

“Sesunguhnya di antara kamu ada orang yang sangat berlambat-lambat ke medan perang. Maka, jika kamu ditimpa musibah, mereka berkata, “sesungguhnya Tuhan telah menganugerahkan nikmat kepada saya karena tidak ikut menyaksikan (peperangan) bersama mereka …... Sungguh jika kamu memperoleh karunia (kemenangan dan harta rampasan perang), pasti dia berkata seolah-oleh belum pernah ada hubungan kasih sayang di antara kamu dengan dia, “Aduhai, kiranya saya bersama mereka, tentu saya memperoleh keberuntungan yang besar (kemenangan dan harta rampasan perang)”. (QS Al-Nisa [4]: 72-73).

Kesan yang ditimbulkan ayat ini (antara lain), bagi orang munafik keberuntungan adalah keuntungan material dan popularitas, yang hanya ingin dinikmatinya sendiri. Keberuntungan orang lain bukan merupakan keberuntungan pula baginya. Itu antara lain yang menyebabkan dia dikecam oleh ayat di atas. Berbeda dengan petunjuk al-Quran yang tidak mengaitkan keberuntungan dengan orang tertentu dan kalaupun dikaitkan dengan orang-orang tertentu, tidak ditujukan kepada individu perorangan, melainkan kolektif (al-faizin atau al-faizun).

Yang tidak kurang pentingnya adalah makna keberuntungan. Dari ayat-ayat yang berbicara tentang al-fauz dalam berbagai bentuknya itu (kecuali surat an-Nisa’ [73]), seluruhnya bermakna pengampunan Ilahi maupun kenikmatan surgawi, sebagai ganjaran ketaatan kepada Allah Swt. Perhatikan misalnya:

“Penghuni surga adalah orang-orang yang beruntung”. (QS Al-Hasyr [59]: 20).

“Barangsiapa yang dijauhkan -- walaupun sedikit -- dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh dia telah beruntung”. (QS Ali ‘Imran [3]: 185)

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ‘idul fitri mengandung pesan agar yang merayakannya mewujudkan kedekatan kepada Allah dan sesama manusia. Kedekatan tersebut diperoleh antara lain dengan kesadaran terhadap kesalahan yang telah diperbuat. Bila itu sudah dilakukan, maka sesungguhnya dia telah mendapatkan keberuntungan.

Sumber :
Ditulis oleh M. Quraish Shihab, Direktur PSQ. (www.psq.or.id)

Baca selanjutnya ....

18 August 2006

DIRGAHAYU RI

DIRGAHAYU INDONESIAKU

Baca selanjutnya ....

10 August 2006

OTONOMI (PUNGUTAN) PENDIDIKAN

Doni Koesoema A

(Dikutip dari Harian Kompas, 10 Agustus 2006)

Kesewenang-wenangan sekolah menarik dana pendidikan dari masyarakat sudah pada taraf mengkhawatirkan. Banyak orangtua mengeluhkan biaya besar yang harus dibayar untuk sumbangan pengembangan institusi.
Otonomi pendidikan oleh insan pendidikan tampaknya baru dipahami sekadar sebagai otonomi untuk memungut dana dari orangtua. Namun apa daya orangtua? Mereka tidak bisa marah sebab anak harus sekolah. Mereka pasrah meski dijadikan sapi perah! Siswa dari keluarga miskin akhirnya hengkang dari sekolah. Mereka tak mampu membayar uang sekolah.

Menarik dana pendidikan dari masyarakat merupakan sesuatu yang wajar, terlebih bagi sekolah-sekolah swasta yang hidup matinya tergantung dari dana masyarakat. Namun, proses ini menjadi tidak wajar saat lembaga pendidikan memanfaatkan posisi lemah kekuatan tawar-menawar orangtua terhadap kebijakan sekolah. Ada ketidakberesan dalam komunikasi pendidikan dan cara memahami otonomi sekolah. Alih-alih memosisikan orangtua sebagai partner malah menjadikannya "sapi perah".

Dalam kerangka pendidikan, orangtua masih dipahami sebagai institusi legal yang hanya bertanggung jawab bagi proses pendidikan anak-anaknya secara ekonomis. Di luar itu, peran orangtua nol.
Otonomi pendidikan yang berubah wajah menjadi otonomi pungutan pendidikan melahirkan ketimpangan, menyuburkan ketidakadilan dan mengerdilkan solidaritas. Elitisme sekolah menyingkirkan keluarga miskin dari sekolah. Yang kaya kian berjaya. Yang miskin kian tak berdaya.

Ketidakadilan dalam memperoleh akses pendidikan bagi kalangan miskin menjadi kian besar ketika jumlah kursi sekolah yang ada ternyata lebih kecil dibandingkan dengan para lulusan yang semestinya melanjutkan ke jenjang pendidikan berikut. Akibatnya, sekolah (negeri dan swasta) kian berlomba menarik dana dari orangtua dengan memanfaatkan rasa khawatir atas terbatasnya jumlah sekolah yang ada.

Situasi pendidikan seperti ini amat kontraproduktif dengan usaha-usaha untuk konsolidasi demokrasi. Tanpa adanya kesempatan yang sama bagi setiap warga untuk mengenyam pendidikan, di mana negara semestinya menjamin hak-hak dasar ini, sekolah menjadi semakin elitis dan antidemokrasi. Sebab bukannya persamaan yang kita perjuangkan, tetapi diseminasi perbedaan dan ketimpangan.
Usaha untuk konsolidasi demokrasi hanya bisa mungkin dimulai dengan menciptakan sebuah sekolah yang sungguh memiliki otonomi.

Dua sasaran

Sekolah yang memiliki visi otonomi dalam masyarakat demokratis semestinya mengarahkan diri pada dua sasaran yang berjalan secara seimbang.

Pertama, otonomi pendidikan seharusnya memusatkan kinerja dan perhatiannya terutama pada dan bagi anak didik. Instansi yang terlibat dalam kerangka pendidikan, seperti sekolah, guru, orangtua, dan masyarakat, merupakan sebuah jaringan demi tujuan formasi anak didik. Karena itu, program pendidikan yang diusulkan, sistem kurikulum yang ditawarkan, penganggaran pendapatan dan belanja sekolah semestinya diarahkan pada satu tujuan bersama yaitu proses pembentukan (formasi) anak didik.

Otonomi pendidikan baru akan memiliki arti saat anak didik mampu bertumbuh, berkembang, dan menyempurnakan diri melalui akuisisi pengetahuan, pembiasaan perilaku baik, pemahaman nilai, pembentukan karakter, yang disertai rasa solidaritas dan kebebasan yang bertanggung jawab, bagi perkembangan diri sendiri maupun kebaikan orang lain. Hanya melalui visi ini, otonomi pendidikan mampu menciptakan suasana demokratis yang membantu melahirkan warga negara yang terbuka dan mampu bekerja sama demi kebaikan bersama.

Kedua, otonomi sekolah merupakan sebuah sintesis antara kebijakan makro (visi dan kebijakan Menteri Pendidikan tentang tujuan pendidikan nasional dan perangkat praktis ke arah sana) dan kebijakan mikro (sistem organisasi sekolah, pengayaan kurikulum, tanggung jawab sekolah atas program formasi, dan lainnya). Dalam level mikro inilah orangtua benar-benar dilibatkan dalam proses formasi anak didik dengan memberi masukan, usulan dalam program kurikuler yang dipilih dan ditawarkan sekolah. Orangtua seharusnya menjadi partner dalam proses formasi anak didik. Di sini komunikasi pendidikan dan transparansi dijiwai semangat demokratis, keterbukaan, disertai kepekaan akan kebutuhan masyarakat lokal.
Komunikasi pendidikan yang memerhatikan berbagai dimensi relasional di antara pihak-pihak yang terkait proses formasi (orangtua, pendidik, sekolah, masyarakat, dan lainnya) merupakan jalinan relasional yang saling menghargai otonomi dan peran dalam kerangka pendidikan.

Karena itu, otonomi pendidikan tidak sekadar dipahami dari kacamata ekonomis yang menjadikan orangtua, dalam relasinya dengan lembaga pendidikan, sekadar sebagai obyek penarikan dana, tetapi melibatkan dimensi partisipatif (kesinambungan pendampingan orangtua pada anak didik pascasekolah), komunikatif (sistem kontrol dan propositif atas transparansi keuangan dan perencanaan program formatif sekolah), dan konsiliatif (keterbukaan untuk menerima masukan dari masyarakat berkaitan dengan program pendidikan yang ditawarkan).

Sekolah yang memiliki otonomi, jika dipahami lewat kacamata seperti ini, akan menjadi pembaru dalam arti sebenarnya, dan menghilangkan tiga jenis penyakit pendidikan yang muncul dalam konteks pendidikan terpusat (sentralistis), seperti inefisiensi (buang banyak uang dan tidak produktif), kemandulan produksi (dalam arti menjadi mesin yang memproduksi kekosongan, menghasilkan pemahaman pengetahuan yang tidak mendalam, pemborosan otak anak didik), serta antidemokrasi (tidak adanya kesempatan menerima pendidikan yang sama, drop out karena miskin, konsep tentang anak didik yang abstrak dan jauh dari lingkungan).

Otonomi pendidikan jika dipahami secara sempit sekadar sebuah otonomi (=kesewenangan) menarik dana dari masyarakat yang pada gilirannya akan jadi bumerang bagi dunia pendidikan itu sendiri.
Mengingat nilai-nilai demokrasi yang dipertaruhkan, dalam sistem pendidikan yang elitis dan sektarian, pemerintah perlu mengusahakan dijaminnya hak-hak kaum miskin untuk tetap dapat mengenyam pendidikan yang dalam sistem pendidikan sekarang kian tersingkirkan.
Mengharapkan anak didik menjadi "aktor" dalam budaya yang dihidupi, memimpikan otonomi pendidikan yang berjiwa demokratis, merupakan upaya yang tak pernah boleh berhenti diusahakan.

Doni Koesoema A
Mahasiswa Jurusan Ilmu Pendidikan dan Pengembangan Profesional Universitas Salesian, Roma

Baca selanjutnya ....

REVITALISASI PENDIDIKAN NASIONAL

Ki Supriyoko

(Dikutip dari Harian Kompas, 10 Agustus 2006)

Bangsa yang maju adalah bangsa yang baik pendidikannya; bangsa yang jelek pendidikannya tidak akan pernah menjadi bangsa yang maju. Inilah pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidato memperingati Hari Anak Nasional beberapa waktu lalu.
Apakah pendidikan nasional kita sudah baik? Belum.





Dari 169.000-an SD dan MI di Indonesia hanya delapan sekolah, dari 32.000-an SMP dan MTs hanya delapan sekolah, serta dari 16.000-an SMA dan MA hanya tujuh sekolah yang diakui kualitasnya oleh The International Baccalaureate Organization (2005). Di tingkat pendidikan tinggi, dari 100 perguruan tinggi terbaik di Asia (dan Australia) versi Shanghai Jiao Tong University (2005), tak satu pun yang berasal dari Indonesia.

Kekeliruan paradigma

Teman dari Australia menyatakan, kunci revitalisasi pendidikan ada pada kurikulum. Teman dari AS menyatakan kuncinya pada semua aspek, seperti sarana, fasilitas, kurikulum, dan teknologi. Paradigma revitalisasi pendidikan itu sebenarnya keliru. Namun justru paradigma yang keliru inilah yang banyak diterapkan di negara-negara berkembang. Orang menganggap, kalau sarana bagus, fasilitas memadai, kurikulum baik, teknologi menjanjikan, otomatis akan diperoleh hasil pendidikan yang baik.

Kenyataan membuktikan. Kini di Jakarta dilangsungkan program pendidikan anak-anak ber- IQ 150 ke atas. Mereka dididik dengan sarana dan fasilitas memadai, kurikulum bagus, dan sebagainya. Setelah dievaluasi, hasilnya biasa saja.

Kunci revitalisasi pendidikan ada pada guru. Ki Hadjar Dewantara dengan Tamansiswa-nya pernah mengajar di ruang dengan atap bocor, dinding miring, meja belajar seadanya, tetapi karena guru (pamong)-nya baik, hasil pendidikannya pun baik. Banyak murid Ki Hadjar dan lulusan Tamansiswa menjadi "orang".

Kekeliruan paradigma itu sepertinya terjadi di Indonesia sejak dulu. Ketika berbicara mutu, orang terlena "mengutak-atik" kurikulum, mempermasalahkan gedung, mempersoalkan buku, menyudutkan manajemen, memperdebatkan ujian, dan lainnya, tetapi tak pernah membincangkan guru secara serius. Sejauh mana keberhasilan guru mengajar di depan kelas dan sejauh mana tingkat profesionalismenya hampir tidak pernah disentuh. Apalagi nasibnya.
Berdasarkan data Depdiknas, banyak guru (dan dosen) yang tidak layak mengajar, tetapi data ini hanya dijadikan bahan bacaan dan tidak pernah ditindaklanjuti dalam aksi nyata. Saya meneliti 7.000-an guru pada salah satu kabupaten di DIY yang tergolong bagus program pendidikannya, hasilnya menyatakan, banyak guru yang dalam belasan tahun tidak pernah ditatar. Bagaimana mungkin pendidikan nasional bisa baik dan kembali vital kalau gurunya tidak layak mengajar dan pengetahuannya out of date.

Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan mengamanatkan agar semua guru TK hingga SMA/SMK harus berkualifikasi sarjana (S-1). Ini bagus. Namun, benarkah guru yang memiliki kualifikasi akademis lebih tinggi dijamin lebih berhasil mengajar?

Pengalaman mengajar

Dari penelitian pada beberapa SD, SMP, dan SMA bonafide di Jawa dan Sumatera didapat hasil berbeda. Di Aceh, guru yang belum berkualifikasi sarjana tetapi pengalaman mengajarnya panjang, keberhasilan mengajarnya lebih tinggi daripada guru berkualifikasi sarjana yang pengalaman mengajarnya pendek. Di Papua, guru SD lulusan SPG lebih disenangi daripada lulusan PGSD dan program D-2. Mengapa? Karena keberhasilan mengajar lulusan SPG dianggap lebih memadai karena pengalamannya.

Jika harus menunggu seluruh guru berkualifikasi sarjana, setengah abad ke depan pun belum tentu terpenuhi. Berdasarkan data Balitbang Depdiknas (2004), guru SMA yang berkualifikasi sarjana baru 72,75 persen dari seluruh guru yang ada; SMK 64,16; SLB 46,35; SMP 42,03; SD 8,30; dan TK baru 3,88 persen.

Sambil menunggu peningkatan "angka sarjana", sebaiknya diciptakan sistem untuk mengombinasi kualifikasi akademis dengan pengalaman mengajar.
Strata keberhasilan terendah ada pada guru yang kualifikasi akademisnya rendah dengan pengalaman mengajar pendek, sementara strata keberhasilan tertinggi ada pada guru yang kualifikasi akademisnya tinggi dengan pengalaman mengajar panjang. Strata keberhasilan, yang mencerminkan keberhasilan mengajar, hendaknya berkorelasi secara linear dengan reward yang diterima; artinya makin tinggi strata keberhasilan kian tinggi reward yang diterima.
Kita boleh berteori mengenai revitalisasi pendidikan nasional, tetapi jika dianalisis, keberhasilan revitalisasi pendidikan nasional amat ditentukan oleh keberhasilan guru (dan dosen) mengajar di depan kelas.

Ki Supriyoko Ketua Majelis Luhur Tamansiswa

Baca selanjutnya ....

05 August 2006

SEJARAH KALENDER ISLAM

oleh : Rudhy Suharto

Kalender telah menjadi bagian penting dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat. Bisa dibayangkan, tanpa kalender kita akan kebingungan menentukan janji pertemuan, membuat program kerja suatu organisasi dan juga negara.


Pada awalnya kehdupan masyarakat itu sederhana, kemudian perkembangan kehidupan masyarakat kian menjadi lebih kompleks, dan menjadi penting untuk mempunyai sistem kalender yang pasti. Sejarah juga menghadirkan kepada kita sebuah sistem kalender untuk memantapkan catatan periode sejarah, seperti perang besar dan peristiwa-peristiwa penting. Misalnya, peristiwa penobatan seorang raja.
Hal ini menyebabkan manusia membutuhkan sebuah petunjuk untuk mengingat peristiwa demi peristiwa, hari demi hari, dengan merujuk pada perubahan yang teratur dari alam. Misalnya, perubahan bulan yang teratur dari bulan sabit ke bulan purnama dan kemudian tenggelam lalu kembali lagi. Perubahan ini mempunyai siklus yang teratur. Dengan pengamatan yang amat jelas dan sederhana yang tidak membutuhkan argumentasi yang canggih maka kita dapat melihat keteraturan perubahan ini.
Selanjutnya, sejarah sendiri merupakan satu titik, yang dapat dikatakan dengan pembagian waktu meliputi bulan dan tahun yang berdasarkan atas konsep peredaran bulan ini. Kalender pertama memang berdasarkan atas peredaran bulan. Namun ini memang tidak akurat dengan peredaran bumi mengelilingi matahari. Matahari kemudian menjadi dasar untuk waktu penanggalan (solar) karena sistem peredaran bulan (lunar) tidak cocok dengan bumi mengelilingi matahari.

Pada awalnya baik sistem lunar maupun solar merupakan gabungan. Namun, belakangan sistem kalender lunar dan solar menjadi berdiri sendiri. Pada perayaan-perayaan agama sistem lunar umumnya dijadikan sebagai petunjuk, seperti pada Christians Easter, Diwali pada agama Hindu, dan Yom Kippur di agama Yahudi, demikian pula dengan hari-hari raya Islam. Jadi pada perayaan-perayaan agama banyak mengambil sitem lunar, sedangkan untuk sistem bisnis dan catatan administrasi banyak menggunakan sistem solar. Kita sekarang ini mempunyai dua sistem yang berjalan berdampingan. Pada sisi lain, kalender bulan mempunyai latar belakang universal, yang pada sistem solar (matahari) dibatasi dengan batas-batas geografis. Sistem penanggalan dengan peredaran bulan memang tidak berhubungan sepenuhnya dengan masalah pertanian yang menyangkut cuaca dan panen. Sedangkan musim itu banyak berhubungan dengan sistem peredaran matahari seperti juga masa panen pertanian.

Pemakaian sistem solar meliputi pertimbangan yang berhubungan dengan rotasi bumi mengelilingi matahari yang menyebabkan dua hal: 1) Terjadinya siang dan malam, 2) orbit yang berbentuk elip ketika mengelilingi matahari menghasilkan pergantian musim. Seluruh waktu peredaran bumi mengelilingi matahari adalah 365 hari 5 jam 48 menit 46 detik, dan periode ini disebut sebagai tahun solar. Sekarang ini sistem kalender solar dibagi atas 7 bulan yang mengandung 31 hari, 4 bulan yang mengandung 30 hari dan satu bulan 28 hari. Dan setiap empat tahun sekali pada bulan Februari ditambahkan satu hari yang disebut tahun kabisat. Tetapi pembagian ini tidak menunjukkan pecahan-pecahan yang genap. Makanya setiap empat ratus tahun terjadi perubahan dalam menentukan keadaan musim dan mungkin karena kenyataan itu secara tetap sistem solar mengalamai modifikasi.

Pada tahun 1923, The League of Nations mengadakan pertemuan khusus di Genewa, yang hendak membuat formulasi universal dan dicocokkan dengan perubahan musim. Satu rekomendasi dari pertemuan itu adalah membuat dalam satu tahun ada 13 bulan, walaupun ini akhirnya tidak digunakan. Sebuah sistem kalender solar tidak mencakup penyesuaian seluruh hal seperti perbedaan musim di berbagai belahan bumi. Kedekatan dan jarak matahari di Timur dan barat adalah alami yang menghasilkan perbedaan substansial antara berbagai daerah. Karena kesesuaian ini inheren (menyatu), adalah tidak mungkin membuat kalender sistem solar ini secara universal diterima.
Kalender sistem lunar, pada sisi lain tidak berpengaruh terhadap perubahan musim. Kemunculan bulan dalam satu tahun selama dua belas kali adalah amat mudah untuk diamati. Revolusi bulan mengelilingi bumi yang berbentuk elip yang tidak secara penuh melingkar. Kecepatan rotasi bulan tidak sama, ini terkadang bisa ditempuh dalam 30 hari dan pada saat yang lain 29 hari. Total periode rotasi bulan mengelilingi bumi adalah 354 hari 48 menit 34 detik.

Tahun Hijrah
Periode kehidupan Nabi SAW yang berlangsung di Makkah seakan-akan merupakan periode yang statis, tak ada denyut sejarah kehidupan masyarakat. Kehidupan masyarakat waktu itu berlangsung bagaikan tanpa perubahan, mungkin hal ini disebabkan interaksi yang minim dengan dunia luar.
Ketika kebutuhan untuk menguatkan sistem administrasi kekhalifahan pada masa Umar bin Khatab dan kebutuhan untuk mempunyai kalender untuk menentukan tanggal yang pasti dipandang perlu, kemudian Khalifah Umar memerintahkan untuk menetapkan Hijrah sebagai dasar untuk penanggalan Islam. Shams al-Din Muhammad ibn ‘Abd al-Rahman al-Sakhawi (w.902) dalam I’lan bi’l-Tawbikh li-man dhamma ahl al-tawrikh meriwayatkan dengan detail asal-usul kalender Islam ini.

Sebuah laporan yang diotoriraskan kepada Ibn ‘Abbas menyatakan bahwa ketika Nabi SAW tiba di sana (Madinah) memang belum ada sistem kalender. Orang-orang baru menggunakan kalender sebulan satu atau dua bulan sesudah kedatangannya. Ini diteruskan sampai Nabi Muhammad meninggal. Kemudian penggunaan kalender berhenti pada masa Abu Bakar menjadi khalifah dan empat tahun pertama Khalifah Umar. Setelah itu, sistem kalender Islam diadakan lagi.

Khalifah Umar berkata, “Apa yang selama ini kita jalankan tanpa hari-hari yang pasti. bagaimana kita dapat memperbaiki ini?” Salah seorang dari al-Hurmuzan menjawab. Dia adalah seorang raja al-Ahwaz. Sesudah penangkapannya selama penaklukkan Persia, dia telah dibawa Umar manjadi Muslim. Dia berkata, “Orang Persia mempunyai metode perhitungan yang mereka sebut mahroz dan mereka menganggap berasal dari penguasa Sassanid. Kata mahroz dalam bahasa Arab menjadi mu’arrakh, yang berasal dari kata dasar ta’rikh. Dalam suatu kesempatan Umar bin Khatab berkata, “Berikan masyarakat sebuah penanggalan yang mereka dapat menggunakan dalam bisnis dan mereka mempunyai tanda-tanda yang pasti dalam menjalin kerjasama”. Seorang Yahudi yang baru masuk Islam yang hadir berkata, “Kami (orang Yahudi) mempunyai perhitungan penanggalan yang berasal dari masa Alexander.” Beberapa yang hadir menolak ide tersebut, karena itu terlalu jauh ke belakang. Dan beberapa orang yang lain mengusulkan untuk mengadopsi penanggalan Persia. Namun ide inipun ditolak karena penanggalan Persia tidak mempunyai ketentuan masa periode tahun yang pasti dan selalu berhubungan dengan tiap-tiap kenaikan seorang raja baru.

Akhirnya sebuah kesepakatan dicapai dengan menghitung kalender Islam yang dimulai dari hijrah Nabi SAW dari Makkah ke Madinah. Dalam hal ini tidak ada perbedaan pendapat mengenai tanggal Nabi SAW hijrah dan ini berbeda dengan tanggal kelahiran Nabi SAW yang mereka berbeda pendapat. Khalifah Umar memang tidak menetapkan standar kalender Islam dari kelahiran nabi Muhammad dan kematian Nabi SAW. Meskipun tanggal kematian Nabi SAW mempunyai ketentuan yang pasti, namun alangkah tidak etis jika peristiwa yang menyedihkan itu menjadi awalnya suatu era Islam.

Al-Suyuti dalam kitabnya, Ta’rikh al-Khulafa menuliskan satu riwayat yang berasal dari al-Musayyab bahwa Khalifah Umar telah menetapkan kalender Hijrah dalam administrasi sesudah dua setengah tahun menjadi khalifah atas nasehat Imam Ali dan ini menjadi praktis dilaksanakan mulai 16 H.

Hijrah itu sendiri juga berhubungan dengan keberhasilan agama Islam, datangnya utusan-utusan dari luar kota Makkah, dan bertambahnya kekuatan umat Islam. Hijrah juga merupakan peristiwa yang amat terkesan dalam peristiwa sejarah.
Kita sekarang mempertimbangkan apa yang Al-Quran katakan tentang perhitungan bulan dan tahun.

Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu).” (QS. 10:5)
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi,...” (QS. 9:36)
Dalam khutbah di hari Arafah Nabi berkata: ...”Wahai Manusia! Dan sesungguhnya zaman telah beredar dari hari Allah menciptakan seluruh langit dan bumi

Maksud ayat-ayat Al-Quran dan hadits ini adalah kita harus mengambil bulan untuk menjadi sumber kalender. Dan selanjutnya sistem kalender Islam adalah berdasarkan peredaran bulan (lunar). Sistem penanggalan ini dimulai pada masa Nabi, namun sebagai sistem yang teratur dimulai pada masa Khalifah Umar Ibn Khatab.
Kalender hijrah bukanlah sebuah sistem yang sentimental, tetapi merupakan sistem yang mempunyai kedalaman agama dan peristiwa sejarah yang penting. Hijrah merupakan pengorbanan untuk sebuah kebenaran atas wahyu. Hijrah merupakan perintah Ilahiah. Allah menginginkan manusia untuk memperjuangkan kebenaran. Dan tahun Islam mengingatkan kaum muslim bahwa pada setiap tahun bukan terhadap kemenangannya, tetapi akan banyaknya pengorbanan yang sama seperti yang telah dilakukan kaum Muhajirin dan Anshar itu.
Sitem kalender Islam mempunyai 12 bulan. Tahun kalender Islam adalah singkat hanya mempunyai 354 atau 355 hari, dan kalender berjalan cepat. Perjalanan dalan bahasa Arab adalah Hijrah, jadi sistem penanggalan Islam disebut Hijrah, atau dalam bahasa Inggris adalah Hegera – “AH” yakni Anno Hegirae. Sistem kalender ini merujuk pada peristiwa hijrah Nabi Muhammad, yang tiba di Madinah tanggal 8 Rabiul Awal atau 20 September 622 M. Sedangkan hari pertama pada bulan Muharram tahun 1 hijrah, bertepatan dengan tanggal 16 Juli 622 M.

Bulan-bulan pada Kalender Islam:
Muharram (30)
Safar (29)
Rabiul Awal (30)
Rabiul Tsani (29)
Jumadil Ula (30)
Jumadil Tsaniyah (29)
Rajab (30)
Sya’ban (29)
Ramadhan (30)
Syawal (29)
Dzulqa’dah
Dzulhijjah (29/30)

Perhitungan kalender Islam adalah sederhana yakni dengan menambahkan beberapa hari agar sama dengan peredaran bulan. Ini dicapai dengan menambahkan 11 hari setiap 30 tahun –yakni pada tahun ke 2, 5, 7, 10, 13, 16, 18, 21, 24, 26 dan 29. Penambahan hari pada akhir tahun kalender, yakni pada bulan Dzulhijjah menjadi 30 hari. Pada tahun biasa ada 354 hari dalam setahun. Jadi selama 30 tahun ada 10620 + 11 = 10631 hari untuk satu periodik (30 tahun), atau rata-rata 29,53055556 hari untuk satu bulan. Sedangkan konsep minggu dalam penanggalan Islam diturunkan dari metode penyucian spiritual dan perubahan diri, yang nama hari terakhirnya adalah al-Jum’ah adalah dari Al-Quran. Hari-harinya merupakan serial yang dinamakan hari al-Sabt, hari al-Ahad, hari al-Itsnain, hari al-Tsulatsa, hari al-Arbi’ah, hari al-Khamis, dan hari al-Jum’ah. Sehingga ketika tiba hari Jumat umat Islam sudah dalam keadaan suci untuk merayakan shalat Jum’ah.

Dikutip dari Majalah Syi’ar Edisi Risalah Muharram 1423 H

Baca selanjutnya ....