08 November 2006

IDUL FITRI

Idul fitri mengandung pesan agar yang merayakannya mewujudkan kedekatan kepada Allah dan sesama manusia. Kedekatan tersebut diperoleh antara lain dengan kesadaran terhadap kesalahan yang telah diperbuat. Bila itu sudah dilakukan, maka sesungguhnya dia telah mendapatkan keberuntungan.
Kata ‘id terambil dari akar kata yang berarti “kembali”, yakni kembali ke tempat atau ke keadaan semula. Ini berarti bahwa sesuatu yang kembali pada mulanya berada pada suatu keadaan atau tempat tertentu, kemudian meninggalkan tempat atau keadaan itu, lalu kembali (dalam arti) ke tempat atau kedaan semula. Nah, apakah keadaan atau tempat semula itu?

Hal ini dijelaskan oleh kata fithr, yang antara lain berarti “asal kejadian”, “agama yang benar”, atau “kesucian”. Dalam pandangan al-Quran, asal kejadian manusia bebas dari dosa dan suci, sehingga ‘idul fithri antara lain berarti kembalinya manusia kepada keadaan suci, atau keterbatasannya dari segala dosa dan noda, sehingga dengan demikian ia berada dalam kesucian. Dosa memang mengakibatkan manusia menjauh dari posisinya semula, baik kedekatan posisinya terhadap Allah maupun sesama manusia. Demikianlah salah satu kesan yang diperoleh dari sekian banyak ayat al-Quran.

Ketika Adam dan Hawa berada di surga, Allah menyampaikan pesan, Janganlah mendekati pohon ini (QS al-Baqarah [2]: 35). Namun begitu, keduanya melanggar perintah Allah karena berdosa dengan memakan buah pohon itu, Al-Quran menyatakan, Maka Tuhan mereka menyeru keduanya, “Bukankah Aku telah melarang kamu berdua mendekati pohon itu?” (QS al-A’raf [7]: 22).

Kesan yang ditimbulkan oleh redaksi ayat-ayat di atas antara lain: Pertama, sebelum terjadinya pelanggaran, Allah bersama Adam dan Hawa berada pada suatu posisi yang berdekatan, yakni masing-masing tidak jauh dari pohon terlarang. Karena itu, isyarat kata yang dipergunakan untuk menunjuk pohon adalah isyarat dekat, yakni “ini”. Tetapi, ketika Adam dan Hawa melanggar, mereka berdua menjauh dari posisi semula, dan Allah pun demikian, sehingga Allah harus “menyeru mereka” (yakni berbicara dari tempat yang jauh), dan ini pula yang menyebabkan Tuhan menunjuk pohon terlarang itu dengan isyarat jauh, yakni “itu” (perhatikan kembali bunyi ayat-ayat di atas).

Di sini terlihat bahwa, baik Adam maupun Allah, masing-masing menjauh. Tetapi jika mereka kembali, masing-masing akan mendekat hingga pada akhirnya akan berada pada posisi semula, sebagaimana ditegaskan al-Quran:

“Jika hamba-hamba-Ku (yang taat dan menyadari kesalahannya) bertanya kepadamu tentang Aku, sesungguhnya Aku dekat, dan memperkenankan permohonan jika mereka bermohon kepada-Ku”. (QS. al-Baqarah [2]: 186).

Kesadaran manusia terhadap kesalahannya mengantarkan Allah mendekat kepadanya. Pada gilirannya, hal itu akan menyebabkan manusia bertaubat. Perlu diingat bahwa taubat secara harfiah berarti “kembali”, sehingga dengan demikian Allah pun akan kembali pada posisi semula. Al-Quran memperkenalkan dua pelaku taubat, yaitu manusia dan Allah Swt.

“Adam menerima kalimat-kalimat dari Tuhannya, maka Dia (Allah) menerima taubatnya. Sesungguhnya Dia Maha Penerima taubat lagi Maha Pengasih”. (QS al-Baqarah [2]: 37).

Walau bukan kembali dalam konteks memohon ampun, namun dapat diperoleh kesan dari firman-Nya yang menyatakan, “Jikalau kamu kembali, Kami pun akan kembali” (QS Al-Isra’ [17]: 8), bahwa Allah selalu rindu akan kembalinya manusia kepada-Nya.

Hadis Nabi Saw. pun menjelaskan bahwa Allah berfirman:

“Apabila hamba-Ku mendekat kepada-Ku (Allah) sejengkal, Aku mendekat kepadanya sehasta. Bila ia mendekat kepada-Ku sehasta, Aku mendekat kepadanya sedepa. Bila ia datang kepada-Ku dengan berjalan, Aku akan datang menemuinya dengan berlari”. (HR. Bukhari dari Anas bin Malik).

Kegembiraan Allah itu tercermin dari hadis Rasulullah Saw. yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Anas bin Malik, yaitu:

“Allah lebih gembira karena taubatnya seseorang pada saat ia bertaubat dari salah seorang diantara kamu yang mengendarai binatang kendaraannya di padang pasir, kemudian binatang itu pergi menjauh padahal di pundak binatang itu terdapat makanan dan minumannya. Dia berputus asa untuk menemukannya kembali, hingga ia berbaring di bawah naungan pohon, dan tiba-tiba saja binatang tadi muncul di hadapannya. Lantas dia pun memegang tali kendalinya sambil berkata saking gembiranya, “Ya Allah, Engkau adalah hambaku dan Aku Tuhanmu”.

Dalam konteks hubungan manusia dengan sesamanya, dapat ditarik kesan dari penamaan manusia dengan kata al-Insan. Kata ini -- menurut sebagian ulama -- terambil dari kata uns yang berarti “senang” atau “harmonis”, sehingga dari sini dapat dipahami bahwa pada dasarnya manusia selalu merasa senang dan memiliki potensi untuk menjalin hubungan harmonis antar sesamanya. Dengan melakukan dosa terhadap sesama manusia, hubungan tersebut menjadi terganggu dan tidak harmonis lagi. Namun, manusia akan kembali ke posisi semula (harmonis) pada saat ia menyadari kesalahannya dan berusaha mendekat kepada siapa yang pernah ia lukai hatinya.

Minal ‘Aidin wal Faizin

Salah satu ucapan populer dalam konteks Idul Fitri adalah “Minal ‘Aidin wal Faizin”. Kata ‘Aidin adalah bentuk pelaku ‘id. Kata al-faizin adalah bentuk jamak dari faiz, yang berarti orang yang beruntung. Kata ini terambil dari kata fauz yang berarti keberuntungan.

Dalam al-Quran ditemukan sebanyak 29 kali kata tersebut dengan berbagai bentuknya. Masing-masing 18 kali dalam bentuk kata jadian fauz/al-fauz (keberuntungan), tiga kali dalam bentuk mafaz (tempat keberuntungan), dua kali dalam bentuk kata kerja faza (beruntung), empat kali dengan bentuk al-faizin, dan hanya sekali dalam bentuk kata kerja tunggal. Yang terakhir ini diucapkan oleh orang munafik yang menyesal karena tidak ikut berperang bersama-sama orang Islam, sehingga ia tidak memperoleh pembagian harta rampasan perang, seperti dijelaskan dalam al-Quran:

“Sesunguhnya di antara kamu ada orang yang sangat berlambat-lambat ke medan perang. Maka, jika kamu ditimpa musibah, mereka berkata, “sesungguhnya Tuhan telah menganugerahkan nikmat kepada saya karena tidak ikut menyaksikan (peperangan) bersama mereka …... Sungguh jika kamu memperoleh karunia (kemenangan dan harta rampasan perang), pasti dia berkata seolah-oleh belum pernah ada hubungan kasih sayang di antara kamu dengan dia, “Aduhai, kiranya saya bersama mereka, tentu saya memperoleh keberuntungan yang besar (kemenangan dan harta rampasan perang)”. (QS Al-Nisa [4]: 72-73).

Kesan yang ditimbulkan ayat ini (antara lain), bagi orang munafik keberuntungan adalah keuntungan material dan popularitas, yang hanya ingin dinikmatinya sendiri. Keberuntungan orang lain bukan merupakan keberuntungan pula baginya. Itu antara lain yang menyebabkan dia dikecam oleh ayat di atas. Berbeda dengan petunjuk al-Quran yang tidak mengaitkan keberuntungan dengan orang tertentu dan kalaupun dikaitkan dengan orang-orang tertentu, tidak ditujukan kepada individu perorangan, melainkan kolektif (al-faizin atau al-faizun).

Yang tidak kurang pentingnya adalah makna keberuntungan. Dari ayat-ayat yang berbicara tentang al-fauz dalam berbagai bentuknya itu (kecuali surat an-Nisa’ [73]), seluruhnya bermakna pengampunan Ilahi maupun kenikmatan surgawi, sebagai ganjaran ketaatan kepada Allah Swt. Perhatikan misalnya:

“Penghuni surga adalah orang-orang yang beruntung”. (QS Al-Hasyr [59]: 20).

“Barangsiapa yang dijauhkan -- walaupun sedikit -- dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh dia telah beruntung”. (QS Ali ‘Imran [3]: 185)

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ‘idul fitri mengandung pesan agar yang merayakannya mewujudkan kedekatan kepada Allah dan sesama manusia. Kedekatan tersebut diperoleh antara lain dengan kesadaran terhadap kesalahan yang telah diperbuat. Bila itu sudah dilakukan, maka sesungguhnya dia telah mendapatkan keberuntungan.

Sumber :
Ditulis oleh M. Quraish Shihab, Direktur PSQ. (www.psq.or.id)

Baca selanjutnya ....