18 August 2006

DIRGAHAYU RI

DIRGAHAYU INDONESIAKU

Baca selanjutnya ....

10 August 2006

OTONOMI (PUNGUTAN) PENDIDIKAN

Doni Koesoema A

(Dikutip dari Harian Kompas, 10 Agustus 2006)

Kesewenang-wenangan sekolah menarik dana pendidikan dari masyarakat sudah pada taraf mengkhawatirkan. Banyak orangtua mengeluhkan biaya besar yang harus dibayar untuk sumbangan pengembangan institusi.
Otonomi pendidikan oleh insan pendidikan tampaknya baru dipahami sekadar sebagai otonomi untuk memungut dana dari orangtua. Namun apa daya orangtua? Mereka tidak bisa marah sebab anak harus sekolah. Mereka pasrah meski dijadikan sapi perah! Siswa dari keluarga miskin akhirnya hengkang dari sekolah. Mereka tak mampu membayar uang sekolah.

Menarik dana pendidikan dari masyarakat merupakan sesuatu yang wajar, terlebih bagi sekolah-sekolah swasta yang hidup matinya tergantung dari dana masyarakat. Namun, proses ini menjadi tidak wajar saat lembaga pendidikan memanfaatkan posisi lemah kekuatan tawar-menawar orangtua terhadap kebijakan sekolah. Ada ketidakberesan dalam komunikasi pendidikan dan cara memahami otonomi sekolah. Alih-alih memosisikan orangtua sebagai partner malah menjadikannya "sapi perah".

Dalam kerangka pendidikan, orangtua masih dipahami sebagai institusi legal yang hanya bertanggung jawab bagi proses pendidikan anak-anaknya secara ekonomis. Di luar itu, peran orangtua nol.
Otonomi pendidikan yang berubah wajah menjadi otonomi pungutan pendidikan melahirkan ketimpangan, menyuburkan ketidakadilan dan mengerdilkan solidaritas. Elitisme sekolah menyingkirkan keluarga miskin dari sekolah. Yang kaya kian berjaya. Yang miskin kian tak berdaya.

Ketidakadilan dalam memperoleh akses pendidikan bagi kalangan miskin menjadi kian besar ketika jumlah kursi sekolah yang ada ternyata lebih kecil dibandingkan dengan para lulusan yang semestinya melanjutkan ke jenjang pendidikan berikut. Akibatnya, sekolah (negeri dan swasta) kian berlomba menarik dana dari orangtua dengan memanfaatkan rasa khawatir atas terbatasnya jumlah sekolah yang ada.

Situasi pendidikan seperti ini amat kontraproduktif dengan usaha-usaha untuk konsolidasi demokrasi. Tanpa adanya kesempatan yang sama bagi setiap warga untuk mengenyam pendidikan, di mana negara semestinya menjamin hak-hak dasar ini, sekolah menjadi semakin elitis dan antidemokrasi. Sebab bukannya persamaan yang kita perjuangkan, tetapi diseminasi perbedaan dan ketimpangan.
Usaha untuk konsolidasi demokrasi hanya bisa mungkin dimulai dengan menciptakan sebuah sekolah yang sungguh memiliki otonomi.

Dua sasaran

Sekolah yang memiliki visi otonomi dalam masyarakat demokratis semestinya mengarahkan diri pada dua sasaran yang berjalan secara seimbang.

Pertama, otonomi pendidikan seharusnya memusatkan kinerja dan perhatiannya terutama pada dan bagi anak didik. Instansi yang terlibat dalam kerangka pendidikan, seperti sekolah, guru, orangtua, dan masyarakat, merupakan sebuah jaringan demi tujuan formasi anak didik. Karena itu, program pendidikan yang diusulkan, sistem kurikulum yang ditawarkan, penganggaran pendapatan dan belanja sekolah semestinya diarahkan pada satu tujuan bersama yaitu proses pembentukan (formasi) anak didik.

Otonomi pendidikan baru akan memiliki arti saat anak didik mampu bertumbuh, berkembang, dan menyempurnakan diri melalui akuisisi pengetahuan, pembiasaan perilaku baik, pemahaman nilai, pembentukan karakter, yang disertai rasa solidaritas dan kebebasan yang bertanggung jawab, bagi perkembangan diri sendiri maupun kebaikan orang lain. Hanya melalui visi ini, otonomi pendidikan mampu menciptakan suasana demokratis yang membantu melahirkan warga negara yang terbuka dan mampu bekerja sama demi kebaikan bersama.

Kedua, otonomi sekolah merupakan sebuah sintesis antara kebijakan makro (visi dan kebijakan Menteri Pendidikan tentang tujuan pendidikan nasional dan perangkat praktis ke arah sana) dan kebijakan mikro (sistem organisasi sekolah, pengayaan kurikulum, tanggung jawab sekolah atas program formasi, dan lainnya). Dalam level mikro inilah orangtua benar-benar dilibatkan dalam proses formasi anak didik dengan memberi masukan, usulan dalam program kurikuler yang dipilih dan ditawarkan sekolah. Orangtua seharusnya menjadi partner dalam proses formasi anak didik. Di sini komunikasi pendidikan dan transparansi dijiwai semangat demokratis, keterbukaan, disertai kepekaan akan kebutuhan masyarakat lokal.
Komunikasi pendidikan yang memerhatikan berbagai dimensi relasional di antara pihak-pihak yang terkait proses formasi (orangtua, pendidik, sekolah, masyarakat, dan lainnya) merupakan jalinan relasional yang saling menghargai otonomi dan peran dalam kerangka pendidikan.

Karena itu, otonomi pendidikan tidak sekadar dipahami dari kacamata ekonomis yang menjadikan orangtua, dalam relasinya dengan lembaga pendidikan, sekadar sebagai obyek penarikan dana, tetapi melibatkan dimensi partisipatif (kesinambungan pendampingan orangtua pada anak didik pascasekolah), komunikatif (sistem kontrol dan propositif atas transparansi keuangan dan perencanaan program formatif sekolah), dan konsiliatif (keterbukaan untuk menerima masukan dari masyarakat berkaitan dengan program pendidikan yang ditawarkan).

Sekolah yang memiliki otonomi, jika dipahami lewat kacamata seperti ini, akan menjadi pembaru dalam arti sebenarnya, dan menghilangkan tiga jenis penyakit pendidikan yang muncul dalam konteks pendidikan terpusat (sentralistis), seperti inefisiensi (buang banyak uang dan tidak produktif), kemandulan produksi (dalam arti menjadi mesin yang memproduksi kekosongan, menghasilkan pemahaman pengetahuan yang tidak mendalam, pemborosan otak anak didik), serta antidemokrasi (tidak adanya kesempatan menerima pendidikan yang sama, drop out karena miskin, konsep tentang anak didik yang abstrak dan jauh dari lingkungan).

Otonomi pendidikan jika dipahami secara sempit sekadar sebuah otonomi (=kesewenangan) menarik dana dari masyarakat yang pada gilirannya akan jadi bumerang bagi dunia pendidikan itu sendiri.
Mengingat nilai-nilai demokrasi yang dipertaruhkan, dalam sistem pendidikan yang elitis dan sektarian, pemerintah perlu mengusahakan dijaminnya hak-hak kaum miskin untuk tetap dapat mengenyam pendidikan yang dalam sistem pendidikan sekarang kian tersingkirkan.
Mengharapkan anak didik menjadi "aktor" dalam budaya yang dihidupi, memimpikan otonomi pendidikan yang berjiwa demokratis, merupakan upaya yang tak pernah boleh berhenti diusahakan.

Doni Koesoema A
Mahasiswa Jurusan Ilmu Pendidikan dan Pengembangan Profesional Universitas Salesian, Roma

Baca selanjutnya ....

REVITALISASI PENDIDIKAN NASIONAL

Ki Supriyoko

(Dikutip dari Harian Kompas, 10 Agustus 2006)

Bangsa yang maju adalah bangsa yang baik pendidikannya; bangsa yang jelek pendidikannya tidak akan pernah menjadi bangsa yang maju. Inilah pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidato memperingati Hari Anak Nasional beberapa waktu lalu.
Apakah pendidikan nasional kita sudah baik? Belum.





Dari 169.000-an SD dan MI di Indonesia hanya delapan sekolah, dari 32.000-an SMP dan MTs hanya delapan sekolah, serta dari 16.000-an SMA dan MA hanya tujuh sekolah yang diakui kualitasnya oleh The International Baccalaureate Organization (2005). Di tingkat pendidikan tinggi, dari 100 perguruan tinggi terbaik di Asia (dan Australia) versi Shanghai Jiao Tong University (2005), tak satu pun yang berasal dari Indonesia.

Kekeliruan paradigma

Teman dari Australia menyatakan, kunci revitalisasi pendidikan ada pada kurikulum. Teman dari AS menyatakan kuncinya pada semua aspek, seperti sarana, fasilitas, kurikulum, dan teknologi. Paradigma revitalisasi pendidikan itu sebenarnya keliru. Namun justru paradigma yang keliru inilah yang banyak diterapkan di negara-negara berkembang. Orang menganggap, kalau sarana bagus, fasilitas memadai, kurikulum baik, teknologi menjanjikan, otomatis akan diperoleh hasil pendidikan yang baik.

Kenyataan membuktikan. Kini di Jakarta dilangsungkan program pendidikan anak-anak ber- IQ 150 ke atas. Mereka dididik dengan sarana dan fasilitas memadai, kurikulum bagus, dan sebagainya. Setelah dievaluasi, hasilnya biasa saja.

Kunci revitalisasi pendidikan ada pada guru. Ki Hadjar Dewantara dengan Tamansiswa-nya pernah mengajar di ruang dengan atap bocor, dinding miring, meja belajar seadanya, tetapi karena guru (pamong)-nya baik, hasil pendidikannya pun baik. Banyak murid Ki Hadjar dan lulusan Tamansiswa menjadi "orang".

Kekeliruan paradigma itu sepertinya terjadi di Indonesia sejak dulu. Ketika berbicara mutu, orang terlena "mengutak-atik" kurikulum, mempermasalahkan gedung, mempersoalkan buku, menyudutkan manajemen, memperdebatkan ujian, dan lainnya, tetapi tak pernah membincangkan guru secara serius. Sejauh mana keberhasilan guru mengajar di depan kelas dan sejauh mana tingkat profesionalismenya hampir tidak pernah disentuh. Apalagi nasibnya.
Berdasarkan data Depdiknas, banyak guru (dan dosen) yang tidak layak mengajar, tetapi data ini hanya dijadikan bahan bacaan dan tidak pernah ditindaklanjuti dalam aksi nyata. Saya meneliti 7.000-an guru pada salah satu kabupaten di DIY yang tergolong bagus program pendidikannya, hasilnya menyatakan, banyak guru yang dalam belasan tahun tidak pernah ditatar. Bagaimana mungkin pendidikan nasional bisa baik dan kembali vital kalau gurunya tidak layak mengajar dan pengetahuannya out of date.

Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan mengamanatkan agar semua guru TK hingga SMA/SMK harus berkualifikasi sarjana (S-1). Ini bagus. Namun, benarkah guru yang memiliki kualifikasi akademis lebih tinggi dijamin lebih berhasil mengajar?

Pengalaman mengajar

Dari penelitian pada beberapa SD, SMP, dan SMA bonafide di Jawa dan Sumatera didapat hasil berbeda. Di Aceh, guru yang belum berkualifikasi sarjana tetapi pengalaman mengajarnya panjang, keberhasilan mengajarnya lebih tinggi daripada guru berkualifikasi sarjana yang pengalaman mengajarnya pendek. Di Papua, guru SD lulusan SPG lebih disenangi daripada lulusan PGSD dan program D-2. Mengapa? Karena keberhasilan mengajar lulusan SPG dianggap lebih memadai karena pengalamannya.

Jika harus menunggu seluruh guru berkualifikasi sarjana, setengah abad ke depan pun belum tentu terpenuhi. Berdasarkan data Balitbang Depdiknas (2004), guru SMA yang berkualifikasi sarjana baru 72,75 persen dari seluruh guru yang ada; SMK 64,16; SLB 46,35; SMP 42,03; SD 8,30; dan TK baru 3,88 persen.

Sambil menunggu peningkatan "angka sarjana", sebaiknya diciptakan sistem untuk mengombinasi kualifikasi akademis dengan pengalaman mengajar.
Strata keberhasilan terendah ada pada guru yang kualifikasi akademisnya rendah dengan pengalaman mengajar pendek, sementara strata keberhasilan tertinggi ada pada guru yang kualifikasi akademisnya tinggi dengan pengalaman mengajar panjang. Strata keberhasilan, yang mencerminkan keberhasilan mengajar, hendaknya berkorelasi secara linear dengan reward yang diterima; artinya makin tinggi strata keberhasilan kian tinggi reward yang diterima.
Kita boleh berteori mengenai revitalisasi pendidikan nasional, tetapi jika dianalisis, keberhasilan revitalisasi pendidikan nasional amat ditentukan oleh keberhasilan guru (dan dosen) mengajar di depan kelas.

Ki Supriyoko Ketua Majelis Luhur Tamansiswa

Baca selanjutnya ....

05 August 2006

SEJARAH KALENDER ISLAM

oleh : Rudhy Suharto

Kalender telah menjadi bagian penting dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat. Bisa dibayangkan, tanpa kalender kita akan kebingungan menentukan janji pertemuan, membuat program kerja suatu organisasi dan juga negara.


Pada awalnya kehdupan masyarakat itu sederhana, kemudian perkembangan kehidupan masyarakat kian menjadi lebih kompleks, dan menjadi penting untuk mempunyai sistem kalender yang pasti. Sejarah juga menghadirkan kepada kita sebuah sistem kalender untuk memantapkan catatan periode sejarah, seperti perang besar dan peristiwa-peristiwa penting. Misalnya, peristiwa penobatan seorang raja.
Hal ini menyebabkan manusia membutuhkan sebuah petunjuk untuk mengingat peristiwa demi peristiwa, hari demi hari, dengan merujuk pada perubahan yang teratur dari alam. Misalnya, perubahan bulan yang teratur dari bulan sabit ke bulan purnama dan kemudian tenggelam lalu kembali lagi. Perubahan ini mempunyai siklus yang teratur. Dengan pengamatan yang amat jelas dan sederhana yang tidak membutuhkan argumentasi yang canggih maka kita dapat melihat keteraturan perubahan ini.
Selanjutnya, sejarah sendiri merupakan satu titik, yang dapat dikatakan dengan pembagian waktu meliputi bulan dan tahun yang berdasarkan atas konsep peredaran bulan ini. Kalender pertama memang berdasarkan atas peredaran bulan. Namun ini memang tidak akurat dengan peredaran bumi mengelilingi matahari. Matahari kemudian menjadi dasar untuk waktu penanggalan (solar) karena sistem peredaran bulan (lunar) tidak cocok dengan bumi mengelilingi matahari.

Pada awalnya baik sistem lunar maupun solar merupakan gabungan. Namun, belakangan sistem kalender lunar dan solar menjadi berdiri sendiri. Pada perayaan-perayaan agama sistem lunar umumnya dijadikan sebagai petunjuk, seperti pada Christians Easter, Diwali pada agama Hindu, dan Yom Kippur di agama Yahudi, demikian pula dengan hari-hari raya Islam. Jadi pada perayaan-perayaan agama banyak mengambil sitem lunar, sedangkan untuk sistem bisnis dan catatan administrasi banyak menggunakan sistem solar. Kita sekarang ini mempunyai dua sistem yang berjalan berdampingan. Pada sisi lain, kalender bulan mempunyai latar belakang universal, yang pada sistem solar (matahari) dibatasi dengan batas-batas geografis. Sistem penanggalan dengan peredaran bulan memang tidak berhubungan sepenuhnya dengan masalah pertanian yang menyangkut cuaca dan panen. Sedangkan musim itu banyak berhubungan dengan sistem peredaran matahari seperti juga masa panen pertanian.

Pemakaian sistem solar meliputi pertimbangan yang berhubungan dengan rotasi bumi mengelilingi matahari yang menyebabkan dua hal: 1) Terjadinya siang dan malam, 2) orbit yang berbentuk elip ketika mengelilingi matahari menghasilkan pergantian musim. Seluruh waktu peredaran bumi mengelilingi matahari adalah 365 hari 5 jam 48 menit 46 detik, dan periode ini disebut sebagai tahun solar. Sekarang ini sistem kalender solar dibagi atas 7 bulan yang mengandung 31 hari, 4 bulan yang mengandung 30 hari dan satu bulan 28 hari. Dan setiap empat tahun sekali pada bulan Februari ditambahkan satu hari yang disebut tahun kabisat. Tetapi pembagian ini tidak menunjukkan pecahan-pecahan yang genap. Makanya setiap empat ratus tahun terjadi perubahan dalam menentukan keadaan musim dan mungkin karena kenyataan itu secara tetap sistem solar mengalamai modifikasi.

Pada tahun 1923, The League of Nations mengadakan pertemuan khusus di Genewa, yang hendak membuat formulasi universal dan dicocokkan dengan perubahan musim. Satu rekomendasi dari pertemuan itu adalah membuat dalam satu tahun ada 13 bulan, walaupun ini akhirnya tidak digunakan. Sebuah sistem kalender solar tidak mencakup penyesuaian seluruh hal seperti perbedaan musim di berbagai belahan bumi. Kedekatan dan jarak matahari di Timur dan barat adalah alami yang menghasilkan perbedaan substansial antara berbagai daerah. Karena kesesuaian ini inheren (menyatu), adalah tidak mungkin membuat kalender sistem solar ini secara universal diterima.
Kalender sistem lunar, pada sisi lain tidak berpengaruh terhadap perubahan musim. Kemunculan bulan dalam satu tahun selama dua belas kali adalah amat mudah untuk diamati. Revolusi bulan mengelilingi bumi yang berbentuk elip yang tidak secara penuh melingkar. Kecepatan rotasi bulan tidak sama, ini terkadang bisa ditempuh dalam 30 hari dan pada saat yang lain 29 hari. Total periode rotasi bulan mengelilingi bumi adalah 354 hari 48 menit 34 detik.

Tahun Hijrah
Periode kehidupan Nabi SAW yang berlangsung di Makkah seakan-akan merupakan periode yang statis, tak ada denyut sejarah kehidupan masyarakat. Kehidupan masyarakat waktu itu berlangsung bagaikan tanpa perubahan, mungkin hal ini disebabkan interaksi yang minim dengan dunia luar.
Ketika kebutuhan untuk menguatkan sistem administrasi kekhalifahan pada masa Umar bin Khatab dan kebutuhan untuk mempunyai kalender untuk menentukan tanggal yang pasti dipandang perlu, kemudian Khalifah Umar memerintahkan untuk menetapkan Hijrah sebagai dasar untuk penanggalan Islam. Shams al-Din Muhammad ibn ‘Abd al-Rahman al-Sakhawi (w.902) dalam I’lan bi’l-Tawbikh li-man dhamma ahl al-tawrikh meriwayatkan dengan detail asal-usul kalender Islam ini.

Sebuah laporan yang diotoriraskan kepada Ibn ‘Abbas menyatakan bahwa ketika Nabi SAW tiba di sana (Madinah) memang belum ada sistem kalender. Orang-orang baru menggunakan kalender sebulan satu atau dua bulan sesudah kedatangannya. Ini diteruskan sampai Nabi Muhammad meninggal. Kemudian penggunaan kalender berhenti pada masa Abu Bakar menjadi khalifah dan empat tahun pertama Khalifah Umar. Setelah itu, sistem kalender Islam diadakan lagi.

Khalifah Umar berkata, “Apa yang selama ini kita jalankan tanpa hari-hari yang pasti. bagaimana kita dapat memperbaiki ini?” Salah seorang dari al-Hurmuzan menjawab. Dia adalah seorang raja al-Ahwaz. Sesudah penangkapannya selama penaklukkan Persia, dia telah dibawa Umar manjadi Muslim. Dia berkata, “Orang Persia mempunyai metode perhitungan yang mereka sebut mahroz dan mereka menganggap berasal dari penguasa Sassanid. Kata mahroz dalam bahasa Arab menjadi mu’arrakh, yang berasal dari kata dasar ta’rikh. Dalam suatu kesempatan Umar bin Khatab berkata, “Berikan masyarakat sebuah penanggalan yang mereka dapat menggunakan dalam bisnis dan mereka mempunyai tanda-tanda yang pasti dalam menjalin kerjasama”. Seorang Yahudi yang baru masuk Islam yang hadir berkata, “Kami (orang Yahudi) mempunyai perhitungan penanggalan yang berasal dari masa Alexander.” Beberapa yang hadir menolak ide tersebut, karena itu terlalu jauh ke belakang. Dan beberapa orang yang lain mengusulkan untuk mengadopsi penanggalan Persia. Namun ide inipun ditolak karena penanggalan Persia tidak mempunyai ketentuan masa periode tahun yang pasti dan selalu berhubungan dengan tiap-tiap kenaikan seorang raja baru.

Akhirnya sebuah kesepakatan dicapai dengan menghitung kalender Islam yang dimulai dari hijrah Nabi SAW dari Makkah ke Madinah. Dalam hal ini tidak ada perbedaan pendapat mengenai tanggal Nabi SAW hijrah dan ini berbeda dengan tanggal kelahiran Nabi SAW yang mereka berbeda pendapat. Khalifah Umar memang tidak menetapkan standar kalender Islam dari kelahiran nabi Muhammad dan kematian Nabi SAW. Meskipun tanggal kematian Nabi SAW mempunyai ketentuan yang pasti, namun alangkah tidak etis jika peristiwa yang menyedihkan itu menjadi awalnya suatu era Islam.

Al-Suyuti dalam kitabnya, Ta’rikh al-Khulafa menuliskan satu riwayat yang berasal dari al-Musayyab bahwa Khalifah Umar telah menetapkan kalender Hijrah dalam administrasi sesudah dua setengah tahun menjadi khalifah atas nasehat Imam Ali dan ini menjadi praktis dilaksanakan mulai 16 H.

Hijrah itu sendiri juga berhubungan dengan keberhasilan agama Islam, datangnya utusan-utusan dari luar kota Makkah, dan bertambahnya kekuatan umat Islam. Hijrah juga merupakan peristiwa yang amat terkesan dalam peristiwa sejarah.
Kita sekarang mempertimbangkan apa yang Al-Quran katakan tentang perhitungan bulan dan tahun.

Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu).” (QS. 10:5)
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi,...” (QS. 9:36)
Dalam khutbah di hari Arafah Nabi berkata: ...”Wahai Manusia! Dan sesungguhnya zaman telah beredar dari hari Allah menciptakan seluruh langit dan bumi

Maksud ayat-ayat Al-Quran dan hadits ini adalah kita harus mengambil bulan untuk menjadi sumber kalender. Dan selanjutnya sistem kalender Islam adalah berdasarkan peredaran bulan (lunar). Sistem penanggalan ini dimulai pada masa Nabi, namun sebagai sistem yang teratur dimulai pada masa Khalifah Umar Ibn Khatab.
Kalender hijrah bukanlah sebuah sistem yang sentimental, tetapi merupakan sistem yang mempunyai kedalaman agama dan peristiwa sejarah yang penting. Hijrah merupakan pengorbanan untuk sebuah kebenaran atas wahyu. Hijrah merupakan perintah Ilahiah. Allah menginginkan manusia untuk memperjuangkan kebenaran. Dan tahun Islam mengingatkan kaum muslim bahwa pada setiap tahun bukan terhadap kemenangannya, tetapi akan banyaknya pengorbanan yang sama seperti yang telah dilakukan kaum Muhajirin dan Anshar itu.
Sitem kalender Islam mempunyai 12 bulan. Tahun kalender Islam adalah singkat hanya mempunyai 354 atau 355 hari, dan kalender berjalan cepat. Perjalanan dalan bahasa Arab adalah Hijrah, jadi sistem penanggalan Islam disebut Hijrah, atau dalam bahasa Inggris adalah Hegera – “AH” yakni Anno Hegirae. Sistem kalender ini merujuk pada peristiwa hijrah Nabi Muhammad, yang tiba di Madinah tanggal 8 Rabiul Awal atau 20 September 622 M. Sedangkan hari pertama pada bulan Muharram tahun 1 hijrah, bertepatan dengan tanggal 16 Juli 622 M.

Bulan-bulan pada Kalender Islam:
Muharram (30)
Safar (29)
Rabiul Awal (30)
Rabiul Tsani (29)
Jumadil Ula (30)
Jumadil Tsaniyah (29)
Rajab (30)
Sya’ban (29)
Ramadhan (30)
Syawal (29)
Dzulqa’dah
Dzulhijjah (29/30)

Perhitungan kalender Islam adalah sederhana yakni dengan menambahkan beberapa hari agar sama dengan peredaran bulan. Ini dicapai dengan menambahkan 11 hari setiap 30 tahun –yakni pada tahun ke 2, 5, 7, 10, 13, 16, 18, 21, 24, 26 dan 29. Penambahan hari pada akhir tahun kalender, yakni pada bulan Dzulhijjah menjadi 30 hari. Pada tahun biasa ada 354 hari dalam setahun. Jadi selama 30 tahun ada 10620 + 11 = 10631 hari untuk satu periodik (30 tahun), atau rata-rata 29,53055556 hari untuk satu bulan. Sedangkan konsep minggu dalam penanggalan Islam diturunkan dari metode penyucian spiritual dan perubahan diri, yang nama hari terakhirnya adalah al-Jum’ah adalah dari Al-Quran. Hari-harinya merupakan serial yang dinamakan hari al-Sabt, hari al-Ahad, hari al-Itsnain, hari al-Tsulatsa, hari al-Arbi’ah, hari al-Khamis, dan hari al-Jum’ah. Sehingga ketika tiba hari Jumat umat Islam sudah dalam keadaan suci untuk merayakan shalat Jum’ah.

Dikutip dari Majalah Syi’ar Edisi Risalah Muharram 1423 H

Baca selanjutnya ....