04 April 2007

GURU SEBAGAI KOMUNITAS PEMBELAJAR

Oleh Prof. Dr. Sudarwan Danim
(Guru Besar Universitas Bengkulu / Ketua PB PGRI)

Guru merupakan kunci peradaban dan keberadaban umat manusia. Bangsa, komunitas, atau individu yang tidak menerima sentuhan layanan pendidikan dan pembelajaran untuk kurun waktu relatif lama dan optimal oleh guru, cenderung terbelakang peradaban dan keberadabannya.


Secara radikal dapat dikatakan bahwa tidak ada bangsa dan komunitas yang maju, kecuali kalau bangsa dan komunitas itu bersentuhan secara intensif dan bernilai edukasi dari guru. Agaknya, juga tidak ada bangsa yang benar-benar maju kecuali kalau bangsa itu menghormati esensi dan eksistensi proses pencerdasan, peningkatan keterampilan, dan penataan afeksi, dimana gurumengintegral di dalamnya.

Inilah contohnya. Peradaban dan keberadaban suku kubu atau komunitas manusia nomaden nyaris tidak berubah, meski peradaban megapolis telah muncul, era globalisasi telah tiba, abad millenium telah datang, dan mobilitas multidimensi makin tumbuh nyaris tanpa batas. Mengapa demikian? Sosiolog sangat mungkin akan menjawabnya sebagai akibat dari ketiadaan sentuhan modernitas. Ekonom sangat mungkin menjawabnya sebagai akibat dari kemiskinan dan perut lapar secara akut lagi kronis. Berbeda dengan sosiolog, edukator akan menarik kesimpulan bahwa gejala fenomenal itu disebabkan karena mereka tidak pernah berinteraksi secara cukup dengan guru, khususnya guru-guru formal melalui wahana lembaga pendidikan persekolahan.

Komunitas yang kini menikmati hidup layak dalam suasana kecerdasan, keterampilan, afeksi, emosi, dan spirit kehidupan bertaraf tinggi adalah mereka yang pernah menjalani proses pembelajaran yang intensif dan benar. Mereka adalah orang-orang yang telah berhasil menjalani proses transformasi bernilai tambah tinggi selama berinteraksi dengan guru di sekolah-sekolah formal, mengambil manfaat dari para pelatih atau instruktur di lembaga-lembaga pendidikan nonformal, menjalani sosialisasi pertama secara baik di lingkungan keluarga, dan tumbuh sebagai pembelajar yang unggul secara mandiri. Manusia yang mencapai taraf peradaban dan keberadaban tingkat tinggi adalah mereka yang telah berhasil menjalani proses kemanusiaan dan pemanusiaan secara benar, efektif, efisien, dan manusiawi.

Pada lembaga pendidikan formal atau pendidikan, proses kemanusiaan dan pemanusiaan generasi muda menuju kedewasaan sejati meniscayakan kehadiran guru-guru formal. Guru-guru inilah yang menjadi ujung sekaligus pengarah tombak alias kunci utama proses pembelajaran di kelas dan di luar kelas, sehingga anak didik dapat menjalani proses pendidikan secara baik dan optimal. Karenanya, guru-gurulah yang menjadi kunci utama evoluai reformasi peradaban dan keberadaban manusia seumumnya.

Guru sekolah-sekolah formal, banyak dan beragam. Mulai dari mereka yang hanya memposisikan diri sebagai manusia pekerja hingga yang memandang dirinya sebagai penyandang profesi sungguhan. Guru seperti apa yang akan berhasil melakukan proses kemanusiaan dan pemanusiaan anak didik secara baik dan optimum? Mereka adalah guru-guru yang profesional dengan warna-warni perilaku dominan dan bernilai edukasi.

Pertama, pengasaan materi, keterampilan metodologi, dan penjiwaan ilmu pendidikan sebagai basis utama dalam menjalankan tugas-tugas profesional. Kedua, menjunjung tinggi harkat dan martabat diri sebagai guru, serta terus membangun esprit de corps.
Ketiga, memiliki empati mendalam terhadap anak didik dan secara kontinyu membangun semangat untuk menyelamatkan generasi. Keempat, tidak pernah kehilangan semangat untuk menjalani proses profesionalisasi (usaha untuk mencapai taraf profesional sungguhan secara terus-menerus) sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan tuntutan masyarakat. Kelima, menjalankan tugas-tugas profesional keguruan merupakan panggilan nurani terdalam dan pilihan karir hingga pensiun. Keenam, ketika memasuki era purnatugas, tetap menampilkan keteladanan sebagai guru. Untuk dapat menjelma dengan sosok yang demikian ini, guru harus mampu menjelma sebagai komunitas pembelajar sebagai ciri khasnya.

Kata “pembelajar” merujuk pada subjek yang belajar dan secara konsisten melakukan perbuatan belajar itu. Belajar merupakan proses bernilai tambah dilihat dari metamorfosis perilaku. Mengikuti pengalaman di dunia biologi, metamorfosis bermakna perubahan menuju “kesempurnaan” atau keutuhan bentuk. Jadi, metamorfosis perilaku yang dimaksudkan di sini adalah sebuah tatanan tindak-tanduk manusia menuju kesejatiannya sebagai makhluk insani.

Apakah yang dimaksud dengan guru sebagai komunitas pembelajar itu? Guru sebagai komunitas pembelajar dapat diberi makna seperti berikut ini. Pertama, berusaha mengenali hakikat dan kesejatian dirinya, potensi dan bakat-bakat terbaiknya. Kedua, berusaha menjadikan apa yang dia ketahui, dia alami, dan dia dengar sebagai nilai tambah untuk berbuat lebih arif. Ketiga, berusaha untuk tidak cepat dan tidak pernah puas atas capaian terbaik sekalipun dalam sejarah hidupnya.

Keempat, berusaha menjunjung tinggi citra diri, harkat dan martabat, serta membangun citra diri hingga benar-benar mengesankan sebagai pembimbing, pendidik, pengajar, dan pelatih sejati. Kelima, berusaha secara optimal untuk mengaktualisasikan segenap potensi diri, mengekspresikan dan menyatakan dirinya secara penuh dan utuh menjadi dirinya, bukan menjadi orang lain. Keenam, berusaha untuk tumbuh dan berkembang dari dependen menjadi independen, untuk kemudian menjadi interdependen dan berinterkoneksi atau bersinergi dengan dengan subjek lain secara produktif, bermakna, dan saling menyenangkan.

Tugas guru, karenanya, bagaimana melakukan reformasi atau pembaruan mental agar menjadi komunitas pembelajar dan ikut membentuk lingkungan belajar itu sendiri menjadi sesuai dengan yang diinginkan. Ketika kesadaran diri sebagai komunitas pembelajar telah menyentuh tataran mental dan kalbu sebagai guru, godaan apa pun yang mengarah kepada deprofesionalisasi profesi akan sangat sulit menembusnya.
Membangun kesadaran guru sebagai komunitas pembelajar sangat mungkin memakan waktu lama. Hal ini disebabkan karena sifatnya menenyentuh tataran nurani guru yang paling dalam. Upaya mereformasi mental tidak sama dengan merenovasi atau membuat bentuk baru sebuah bangunan fisik. Bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun waktu diperlukan untuk mencapai tingkat reformasi mental, hingga benar-benar menjadi budaya kerja sebagai guru.

Inilah tantangan berat bagi guru-guru dengan multitugasnya itu. Pada satu sisi guru-guru perlu kesabaran, namun pada sisi yang lain lagi guru-guru yang sabar itu agaknya makin langka. Bersamaan dengan itu, geliat kencang peradaban milenium tidak dapat dihindari dan akan terus menerpa kita, khususnya godaan material yang ingin dicapai secara instan.

Penjelmaan guru sebagai komunitas pembelajar merupakan kunci pembentukan sekolah sebagai lingkungan belajar yang sesungguhnya. Usaha untuk membangun sekolah sebagai lingkungan belajar sejati ini agaknya harus bergerak dari guru tidak mau belajar lagi, dikondisikan agar tumbuh kesadaran belajar, dan menjadikan belajar sebagai sebuah kebutuhan.

Guru-guru yang telah sampai pada kondisi “menjadikan belajar untuk mengajar dan belajar dari pengalaman mengajar” memiliki potensi untuk memperoleh ganjaran yang sesuai. Pemberian hadiah bagi guru berprestasi, penghargaan tinggi atas karya ilmiah/karya pengembangan profesi, pemberian hadiah kepada guru-guru yang mampu menunjukkan hasil terbaik dalam proses pembelajaran, dan lain-lain adalah bentuk riel dari ganjaran itu. Ketika memasuki fase sadar belajar, ketika itu pula guru telah menjadi komunitas pembelajar. Ciri utamanya adalah:

1. Merasa malu jika tidak belajar untuk hidup dan memperdalam bahan ajar untuk kepentingan anak didiknya.
2. Merasa bersalah jika menghindari sajian materi tertentu dalam kurikulum karena tidak dimengerti.
3. Lebih mengutamakan berdiskusi soal bahan ajar ketimbang diskusi dengan topik lain tatkala berada di kantor sekolah.
4. Lebih mengandalkan kemampuan diri ketimbang memberi tugas semata.
5. Tidak cepat merasa puas atas capaian daya serap anak dalam belajar.
6. Menjadikan belajar sebagai kebutuhan utama sebagai pengajar.

Membangun mental guru dari tidak lazim atau malas belajar (merangsang diri untuk terus tumbuh secara profesional) ke mental rajin belajar atau bermental sebagai komunitas pembelajar demi pencapaian proses dan hasil pembelajaran di sekolah secara optimal, tidak cukup dengan mengandalkan perubahan internal dari mereka secara orang seorang. Pengorganisasian lingkungan belajar di masyarakat, hingga menjadi kondusif sebagai wahana pembelajaran umum pun merupakan keniscayaan bagi terbangunnya lingkungan belajar itu. Karenanya, lingkungan belajar guru, siswa, dan masyarakat seumumnya yang diharapkan adalah yang menjelma seperti berikut ini.

No. Dimensi Ciri Dominan
1 Lingkungan pendidikan persekolahan a. Tercipta disiplin sekolah yang mendorong terbentuknya disiplin belajar guru dan anak.
b. Guru menjadi kunci utama layanan pendidikan dan pembelajaran, termasuk pengembangan.
c. Kesehatan, keamanan, dan kenyamanan belajar terjamin di lingkungan sekolah; termasuk jaminan kesejahteraan.
d. Tersedia buku dan sarana pembelajaran yang lengkap, termasuk jaringan teknologi informasi bagi keperluan pendidikan dan pembelajaran.
e. Keteladanan guru sebagai masyarakat terpelajar.
f. Kinerja profesional guru yang terandalkan, dan guru mampu mampu memberi sugesti kepada subjek didiknya.
g. Kinerja sumberdaya tatalaksana dan teknikal yang optimal.
h. Penetapan kriteria prestasi dan hukuman bagi guru dalam melakukan tugas-tugas pembelajaran.
i. Bahan ajar sebagai fokus utama diskusi guru secara antarrekan.
2 Lingkungan rumah tangga a. Sebagai orang tua, guru menjadi komunitas belajar atau pembaca.
b. Sebagai orang tua, guru menemani anaknya sendiri dalam belajar, bukan sekadar menyuruh anaknya belajar.
c. Guru memiliki jadwal belajar untuk menyiapkan bahan ajar dan memeriksa tugas-tugas anak didiknya, termasuk anaknya sendiri.
d. Sebagai orang tua, guru memantau kegiatan belajar anaknya sendiri dan merefleksi kegiatan belajar anak didiknya.
e. Sebagai orang tua, guru memantau kemajuan belajar anaknya sendiri.
f. Tersedia ruang belajar khusus bagi guru dan anak-anaknya.
g. Tersedia perpustakaan pribadi atau perpustakaan keluarga dengan beragam koleksi.
h. Buku dan sumber informasi lain menjadi barang konsumsi guru sebagai kepala keluarga.
3 Lingkungan jaring-jaring kemasyarakatan a. Keteladanan dan figuritas perilaku masyarakat umum sebagai komunitas belajar
b. Suasana edukatif, dewasa, toleransi, saling menghargai, dan keterpelajaran di masyarakat
c. Komitmen jaring-jaring kemasyarakatan menyediakan sumberdaya belajar, semisal perpustakaan, taman bacaan, sentra informasi, dan jaringan telekomunikasi
d. Pelembagaan sikap dan sistem meritokrasi atau pendekatan prestasi di masyarakat, termasuk dalam kerangka rekrutmen
e. Masyarakat memililiki gairah membangun pranata pendidikan, baik formal maupun nonformal dengan standar mutu yang sama dengan lembaga sejenis di mana pun
f. Tersedia wahana penampungan bagi anak-anak putus sekolah atau anak-anak yang memilih pendidikan alternatif
g. Lembaga pemerintahan memiliki komitmen tinggi terhadap pendidikan, misalnya, di bidang pendanaan dan penyediaan fasilitas

Di lihat dari persepektif pendidikan persekolahan, penjelmaan guru sebagai komunitas pembelajar bermakna terbangunnya lingkungan sekolah yang kondusif bagi peningkatan mutu proses dan produk pembelajaran secara utuh dan bermutu. Mutu dimaksud berkaitan dengan masukan, proses, keluaran, dan daya guna lulusan di masyarakat. Pada tataran yang lebih luas, lingkungan birokrasi pendidikan, pengawas, dan kepala sekolah sebagai administrator/manajer bertanggungjawab agar guru terus tumbuh dan berkembang menjadi menjadi komunitas pembelajar. Terbentuknya guru menjadi komunitas pembelajar akan membuat mereka terhindar dari perilaku berkinerja di bawah standar ideal.

Bagi sebagian besar guru, membangun kebiasaan-diri untuk menjadi komunitas pembelajar mungkin merupakan pekerjaan yang sangat sulit. Hanya guru-guru berprestasi dan subgguh-sungguh mencintai profesinyalah yang akan menjelma sebagai pribadi atau komunitas pembelajar. Sebagai komunitas pembelajar, guru-guru belajar dari banyak hal, misalnya, dari pengalaman keberhasilan atau kegagalan orang lain, dan pengalaman diri sendiri yang bersifat sukses atau yang bersifat gagal. Juga dari buku-buku, jurnal, majalah, koran, hasil-hasil penelitian, hasil observasi, hingga yang bersifat spontan. Untuk dapat menjadi komunitas pembelajar, setidaknya guru harus menjunjung tinggi lima pilar utama dalam perilaku keseharian.

1. Rasa ingin tahu. Inilah merupakan awal mula dari seorang atau sekelompok guru untuk menjadi insan berpengetahuan. Guru yang memiliki rasa ingin tahu yang tinggi adalah pembelajar sejati.
2. Optimisme. Inilah modal dasar seorang atau sekelompok guru untuk tidak mudah menyerah dengan aneka keadaan lingkungan masyarakat dan lingkungan sekolah yang sering digambarkan sebagai buram. Adakalanya, bahkan mungkin banyak terjadi, karena tampil pesimis, guru tiba-tiba menghentikan usaha atau perjuangannya untuk berhasil mengemban tugas-tugas profesi ketika sesungguhnya keberhasilan itu sudah amat dekat untuk dicapai, misalnya, perbaikan proses dan hasil belajar siswa.
3. Keikhlasan. Guru-guru yang ikhlas dalam menjalankan tugas-tugas keprofesian nyaris tidak mengenal lelah, demi pendidikan dan pembelajaran anak didiknya. Dia selalu bergairah pada setiap keadaan. Banyak siasat, strategi, atau akal baru yang bakal muncul ketika guru berpikir dan memutuskan untuk berbuat bagi anak didiknya. Muncul juga “enerji kedua” (second win) dari diri guru, ketika dia sudah mulai merasa kelelahan tatkala masih diperlukan waktu cukup panjang dan enerji cukup besar untuk menyelesaikan tugas pekerjaan. Sebaliknya, guru-guru yang tidak ikhlas, akan mencari argumen untuk meligitimasi argumen “tidak mungkin” yang diucapkannya.
4. Konsistensi. Barangkali masih banyak guru yang bekerja dalam format “keras kerak, yang tersiram air sedikit saja menjadi lembek”, “tergoda dengan hal baru lalu meninggalkan keputusan yang telah dibuat dan tengah dicoba dijalankan”, dan sebagainya. Sehabis mengikuti penataran mereka begitu bersemangat, namun dalam sekejap semangat itu hilang. Semangat mereka pun menurun tajam, ketika mengalami kesulitan untuk naik pangkat ke golongan tertentu.
5. Pandangan visioner. Pandangan jauh ke depan, melebihi batas-batas pemikiran guru kebanyakan. Guru-guru yang termasuk kelompok ini jarang sekali tergoda untuk melakukan apa saja demi hasil yang instan, mengejar target jangka pendek dengan mengorbankan kepentingan jangka panjang. Misalnya, melakukan manipulasi hasil ujian demi mengangkat citra diri secara semu di mata kepala sekolah atau atasannya.
Saat ini, ketika globalisasi dan korporatisasi terus bereskalasi pada skala tinggi, tuntutan profesionalisme pada aneka ranah kehidupan dan pekerjaan, termasuk di lingkungan institusi pendidikan, makin menjadi keniscayaan. Implikasi logisnya, pekerjaan pendidikan yang tadinya identik dengan mengajar, kini berkembang pada hal-hal yang berkaitan dengan perlunya kapasitas kepemimpinan pada institusi yang memberikan layanan massa itu. Jadi, kehadiran guru lebih dari sekadar seorang pendidik.

Guru pun bukan lagi sebatas orang yang melakukan transfer pengalaman laksana menuangkan air ke dalam botol. Melainkan, di ruang belajar, di lingkungan kampus sekolah guru harus mampu tampil sebagai pemimpin atau manajer untuk menjelmakan diri sebagai agen pembelajaran sejati. Hanya guru yang mampu menjadi manajer kelaslah, yang akan dapat menciptakan kondisi pendidikan dan pembelajaran yang baik. Hanya guru yang mempunyai sifat-sifat kepemimpinanlah yang akan mampu melakukan fungsi penggerakan kepada peserta didik, baik dalam kerangka kegiatan ekstra kurikuler, kokurikuler, maupun kurikuler.

Kapasitas riset atau penelitian pun telah menjadi tuntutan bagi guru-guru, terutama riset tindakan kelas. Kemampuan dan keterampilan di bidang riset tindakan kelas ini merupakan instrumen utama bagi guru dalam kerangka melahirkan inovasi baru di bidang pendidikan dan pembelajaran, disamping untuk keperluan membaca hasil penelitian yang relevan. Di negara-negara maju, secara radikal pengajaran dan penelitian direstrukturisasi untuk menemukan kebutuhan-kebutuhan baru di bidang pengetahuan yang bernilai ekonomis dan mendukung transformasi substansi material pembelajaran.

Ketika pendidikan dan pelatihan, termasuk penelitian dan pengembangan, tetap menjadi andalan utama pengembangan SDM, komunitas pendidikan sebagai kelompok pembelajar harus mengemas menu sajian yang membumi, dibutuhkan oleh penggunanya. Mereka harus menghindari perilaku yang esoteris, yaitu upaya mengemas menu sajian dan menyampaikannya hanya dapat dipahami oleh kelompoknya sendiri.

Sebagai komunitas pembelajar, guru, harus mampu bertindak secara signifikan untuk memotivasi perubahan perilaku belajar peserta didik masyarakat. Peserta didik dan generasi mudah harus menjadi fokus utama mereka, karena kelompok inilah yang akan menjadi pelanjut generasi, sekaligus mewariskan tradisi sebagai generasi pembelajar. Pada sisi lain, kelompok ini pula yang akan menikmati penderitaan, ketika terjadi salah asuh oleh generasi sebelumnya, apalagi telah mewaris secara temurun.

Di dalam UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) disebutkan bahwa pendidik, khususnya guru, merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melaksanakan penelitian dan pengabdian pada masyarakat. UU Sisdiknas kita secara jelas mengamanatkan bahwa guru harus mampu tampil profesional dan menunjukkan profesionalismenya, baik di kelas maupun di luar kelas.

Hingga kini penyelenggaraan pendidikan kita masih menghadapi permasalahan yang menuntut pemecahan, khususnya pada sektor “guru” sebagai ujung tombak penyelenggaraan dan proses pendidikan dan pembelajaran formal. Secara garis besar, masalah-masalah yang kita hadapi di sektor keguruan mencakup: (1) jumlah, (2) mutu, (3) penyebaran, (4) kesejahteraan, (5) perlindungan hukum dan perlundungan profesi; dan (6) masalah manajemen atau pengelolaan. Kelahiran Undang-undang Guru yang telah memperoleh izin prakarsa dari Presiden RI sekaligus hak inisiatif DPR diharapkan dapat memecahkan masalah-masalah di bidang keguruan di Indonesia, termasuk masalah peningkatan profesionalisme dan kesejahteraan guru.

Dilihat dari sejarahnya, RUU Tentang Guru telah menempuh perjalanan cukup panjang. Direktorat Tenaga Kependidikan, Ditjen Dikdasmen, Depdiknas bekerjasama dengan instansi terkait seperti PB-PGRI, Lembaga Advokasi Pendidikan, akademisi, serta elemen-elemen masyarakat lainnya sejak awal tahun 1999 telah berdiskusi intensif dan merancang draf Naskah Akademik dan RUU Tentang Guru.

Mengapa UU Tentang Guru dipandang urgen? Urgensi Undang-undang Guru disajikan berikut ini. Pertama, untuk memberikan perlindungan profesi bagi pelaksanaan pekerjaan/jabatan guru. Kedua, memberikan jaminan perlindungan hukum bagi guru untuk memperoleh hak-haknya sebagai pengemban profesi yang tidak saja layak manusiawi, tetapi juga sesuai dengan nilai keterampilan dan keahlian yang dimilikinya.
Ketiga, sebagain instrumen hukum untuk memberikan sanksi bagi guru-guru yang melanggar hukum atau kode etik. Keempat, memberikan jaminan perlindungan hukum bagi guru dalam menghadapi ancaman dan/atau tindakan siswa, orang tua/wali siswa, dan anggota masyarakat.

Kelima, memberikan jaminan tersedianya calon guru yang berkemampuan tinggi dalam menjalankan tugas-tugasnya sebagai sebuah profesi, karena dengan itu jabatan/pekerjaan guru akan kembali dihormati dan dihargai secara layak, sehingga seorang guru tidak akan tertarik untuk pindah ke lapangan pekerjaan lain karena dinilainya lebih menjanjikan masa depan yang baik.

Keenam, memberikan jaminan bahwa jabatan/pekerjaan guru akan menjadi bidang pekerjaan atau profesi pilihan generasi muda yang potensial atau berkemampuan tinggi, karena selain menarik juga dapat memenuhi kebutuhan hidupnya secara manusiawi. Ketujuh, untuk memberikan jaminan kepastian hukum bagi siswa, orang tua dan masyarakat dalam menerima pelayanan pendidikan yang profesional.
Kedelapan, memberikan jaminan bahwa para guru akan memiliki motivasi kerja yang tinggi dalam melaksanakan jabatan/pekerjaannya, diiringi dengan akan semakin meningkatnya dedikasi, loyalitas dan komitmen pengabdiannya pada penyelenggaraan pendidikan jalur sekolah dan luar sekolah yang berkualitas.

Kesembilan, memberikan jaminan pada meningkatnya kesadaran dan tanggung jawab profesionalitas dalam bekerja, dengan memiliki motivasi yang tinggi untuk terus-menerus berusaha meningkatkan kompetensinya sebagai guru profesional sesuai dengan kualifikasi yang dituntut atau dipersyaratkan oleh jenis dan jenjang sekolah tempatnya bertugas/bekerja.

Kesepuluh, memberikan jaminan pada kesediaan guru untuk menunaikan tugas profesionalnya secara kreatif dengan terus mengembangkan gagasan/inisiatif, inovasi dan pembaharuan sesuai dengan perkembangan IPTEK di masa sekarang dan di masa yang akan datang.

Kesebelas, memberikan jaminan pada peningkatan tanggung jawab sebagai guru profesional dalam melaksanakan pengabdian karena setiap penampilannya akan dinilai tidak saja oleh pengawas pendidikan, tetapi juga oleh berbagai pihak seperti siswa, orang tua/wali siswa dan bahkan masyarakat, sehingga apabila disalahgunakan akan dikenai sanksi/hukuman sesuai ketentuan hukum yang berlaku, yang akan merugikan dirinya sendiri.

Keduabelas, memberikan jaminan pada dihasilkannya para lulusan pendidikan sebagai SDM berkualitas yang mampu mandiri dalam memasuki lapangan pekerjaan yang akan memberikan penghasilan untuk dapat hidup layak dalam persaingan global yang semakin ketat dan berat.

Sejalan dengan semangat mewujudkan UU Guru, tanggal 2 Desember 2004, Presiden Susilo Bambang Yudoyono telah mencanangkan “guru sebagai profesi”. Kehadiran UU Guru dan pencanangan “guru sebagai profesi” membawa beberapa implikasi, setidaknya pada tataran hipotetik. Pertama, calon guru yang akan direkrut adalah mereka yang telah lulus pendidikan profesi guru, dibuktikan dengan sertifikat profesi guru yang diperoleh setelah menyelesaikan jenjang sarjana. Kedua, pada masing-masing daerah, setidaknya di tingkat provinsi, harus dibangun lembaga pendidikan profesi guru.
Ketiga, guru-guru yang berlatar belakang non-S1 perlu menempuh pendidikan lanjut hingga mencapai kualifikasi akademik S1, dengan kekecualian khusus. Keempat, guru-guru yang ada sekarang harus mengikuti uji kompetensi untuk memperoleh sertifikat kompetensi, dimana hal itu perlu dilakukan secara kontinyu, misalnya lima tahun sekali.

Kelima, guru-guru yang belum memenuhi standar kompetensi harus mengikuti pelatihan sampai dengan layak menerima sertifikat kompetensi/profesi. Keenam, sistem remunerasi guru akan mengalami penyesuaian hingga profesi guru benar-benar menarik bagi generasi muda dan orang-orang yang potensial untuk menjadi guru. Ketujuh, tuntutan ini akan berimplikasi, bahwa guru-guru yang eksis ke depan adalah mereka yang benar-benar menjadi komunitas pembelajar.

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Lima Puluh Tahun Perkembangan Pendidikan Indonesia, 1995, Jakarta.

Direktorat Tenaga Kependidikan, Naskah Akademik Undang-Undang Guru, 2002, Jakarta.

Republik Indonesia, Tap MPR No. IV/MPR/1999 Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999 – 2004, Jakarta: Sinar Grafika

Republik Indonesia, UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta: Depdiknas

Sudarwan Danim, Agenda Pembaruan Sistem Pendidikan, 2003, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Sudarwan Danim, Inovasi Pendidikan: Dalam Rangka Profesionalisme Tenaga Kependidikan, 2003, Bandung: Pustaka Setia

Sudarwan Danim, Menjadi Komunitas Pembelajar: Kepemimpinan Transformasional Organisasi Pembelajaran, 2003, Jakarta: Bumi Aksara

Baca selanjutnya ....

TEKNIK PENULISAN KOLOM

Farid Gaban, Majalah TEMPO

Mencari ide tulisan
Ada banyak sekali tema di sekitar kita. Namun kita hanya bisa menemukannya jika memiliki kepekaan. Jika kita banyak melihat dan mengamati lingkungan, lalu menuliskannya dalam catatan harian, ide tulisan sebenarnya “sudah ada di situ” tanpa kita perlu mencarinya.
Tema itu bahkan terlalu banyak sehingga kita kesulitan memilihnya. Untuk mempersempti pilihan, pertimbangkan aspek signifikansi (apa pentingnya buat pembaca) dan aktualitas (apakah tema itu tidak terlampau basi).


Merumuskan masalah
Esai yang baik umumnya ringkas (“Less is more” kata Ernest Hemingway) dan fokus. Untuk bisa menjamin esai itu ditulis secara sederhana, ringkas tapi padat, pertama-tama kita harus bisa merumuskan apa yang akan kita tulis dalam sebuah kalimat pendek.
Rumusan itu akan merupakan fondasi tulisan. Tulisan yang baik adalah bangunan arsitektur yang kokoh fondasinya, bukan interior yang indah (kata-kata yang mendayu-dayu) tapi keropos dasarnya.

Mengumpulkan Bahan
Jika kita rajin menulis catatan harian, sebagian bahan sebenarnya bisa bersumber pada catatan harian itu. Namun seringkali, ini harus diperkaya lagi dengan bahan-bahan lain: pengamatan, wawancara, reportase, riset kepustakaan dan sebagainya.

Menentukan bentuk penuturan
Beberapa tema tulisan bisa lebih kuat disajikan dalam bentuk dialog. Tapi, tema yang lain mungkin lebih tepat disajikan dengan lebih banyak narasi serta deskripsi yang diperkaya dengan anekdot. Beberapa penulis memilih bentuk penuturan yang ajeg untuk setiap tema yang ditulisnya:

- Dialog (Umar Kayam)
- Reflektif (Goenawan Mohamad)
- Narasi (Faisal Baraas, Bondan Winarno, Ahmad Tohari)
- Humor/Satir (Mahbub Junaedi)

Menulis
Tata Bahasa dan Ejaan: Taati tata bahasa Indonesia yang baku dan benar. Apakah ejaan katanya benar, di mana meletakkan titik, koma dan tanda hubung? Apakah koma ditulis sebelum atau sesudah penutup tanda kutip (jika ragu cek kebuku rujukan Ejaan Yang Disempurnakan).

Akurasi Fakta: tulisan nonfiksi, betapapun kreatifnya, bersandar pada fakta. Apakah peristiwanya benar-benar terjadi? Apakah ejaan nama kita tulisa secara benar? Apakah rujukan yang kita tulis sama dengan di buku atau kutipan aslinya? Apakah kita menyebutkan nama kota, tahun dan angka-angka secara benar?

Jargon dan Istilah Teknis: hindari sebisa mungkin jargon atau istilah teknis yang hanya dimengerti kalangan tertentu. Kreatiflah menggunakan deskripsi atau anekdot atau metafora untuk menggantikannya. Hindari sebisa mungkin bahasa Inggris atau bahasa daerah.

Sunting dan Pendekkan: seraya menulis atau setelah tulisan selesai, baca kembali. Potong kalimat yang terlalu panjang; atau jadikan dua kalimat. Hilangkan repetisi. Pilih frase kata yang lebih pendek: melakukan pembunuhan bisa diringkas menjadi membunuh. “Tidak” sering bisa diringkas menjadi “tak”, “meskipun” menjadi “meski” dan sebagainya.

Pakai kata kerja aktif: kata kerja aktif adalah motor dalam kalimat, dia mendorong pembaca menuju akhir, mempercepat bacaan. Kata kerja pasif menghambat proses membaca. Pakai kalimat pasif hanya jika tak terhindarkan.

Tak menggurui: meski Anda perlu menunjukkan bahwa Anda menguasai persoalan (otoritatif dalam bidang yang ditulis) hindari bersikap menggurui. Jika mungkin hindari kata “seharusnya”, “semestinya” dan sejenisnya. Gunakan kreatifitas dan ketrampilan mendongeng seraya menyampaikan pesan. Don’t tell it, show it.

Tampilkan anekdot: jika mungkin perkaya tulisan Anda dengan anekdot, ironi dan tragedi yang membuat tulisan Anda lebih “basah” dan berjiwa.

Jangan arogan: orang yang tak setuju dengan Anda belum tentu bodoh. Hormati keragaman pendapat. Opini Anda, bahkan jika Anda meyakininya sepenuh hati, hanya satu saja kebenaran. Ada banyak kebenaran di “luar sana”.

Uji Tulisan Anda: minta teman dekat, saudara, istri, pacar untuk membaca tulisan yang sudah usai. Dengarkan komentar mereka atau kritik mereka yang paling tajam sekalipun. Mereka juga seringkali bisa membantu kita menemukan kalimat atau fakta bodoh yang perlu kita koreksi sebelum diluncurkan ke media.

Baca selanjutnya ....

Kegundahan K.H. Musthofa Bisri

KAU INI BAGAIMANA ATAWA AKU HARUS BAGAIMANA

Kau ini bagaimana?

Kau bilang Aku merdeka, Kau memilihkan untukku segalanya
Kau suruh Aku berpikir, Aku berpikir Kau tuduh Aku kapir

Aku harus bagaimana?

Kau bilang bergeraklah, Aku bergerak Kau curigai
Kau bilang jangan banyak tingkah, Aku diam saja Kau waspadai

Kau ini bagaimana?

Kau suruh Aku pegang prinsip, Aku memegang prinsip Kau tuduh Aku kaku
Kau suruh Aku toleran Kau bilang Aku plin-plan

Aku harus bagaimana?

Aku Kau suruh maju, Aku maju Kau srimpung kakiku
Kau suruh Aku bekerja, Aku bekerja Kau ganggu Aku

Kau ini bagaimana?

Aku kau suruh menghormati hukum, kebijaksanaanmu menyepelekannya
Aku Kau suruh berdisiplin, Kau menyontohkan yang lain

Aku harus bagaimana?

Kau bilang Tuhan sangat dekat, Kau sendiri memanggilnya dengan pengeras suara tiap saat
Kau bilang Kau suka damai, Kau ajak Aku setiap hari bertikai

Aku harus bagaimana?

Aku Kau suruh membangun, Aku membangun Kau merusaknya
Aku Kau suruh menabung, Aku menabung Kau menghabiskannya

Kau ini bagaimana?

Kau suruh Aku menggarap sawah, sawahku Kau tanami rumah-rumah
Kau bilang Aku harus punya rumah, Aku punya rumah Kau meratakannya dengan tanah

Kau ini bagaimana?

Aku Kau larang berjudi, permainan spekulasimu menjadi-jadi
Aku Kau suruh bertanggung jawab, Kau sendiri terus berucap Wallahu a'lam bissawab

Kau ini bagaimana?

Kau suruh Aku jujur, Aku jujur Kau tipu Aku
Kau suruh Aku sabar, Aku sabar Kau injak tengkukku

Aku harus bagaimana?

Aku Kau suruh memliihmu sebagai wakilmu, sudah kupilih Kau bertindak semaumu
Kau bilang Kau selalu memikirkanku, Aku sapa saja Kau merasa terganggu

Kau ini bagaimana?

Kau bilang bicaralah, Aku bicara Kau bilang Aku ceriwis
Kau bilang jangan banyak bicara, Aku bungkam Kau tuduh Aku apatis

Aku harus bagaimana?
Aku harus bagaimana?

Kau bilang kritiklah, Aku kritik Kau marah
Kau bilang cari alternatifnya, Aku kasih alternatif Kau bilang jangan mendikte saja

Kau ini bagaimana?

Aku bilang terserah Kau, Kau tidak mau
Aku bilang terserah kita, Kau tak suka
Aku bilang terserah Aku, Kau memakiku

Kau ini bagaimana?
Aku harus bagaimana?

(K.H.A. Mustofa Bisri, 1987)


Baca selanjutnya ....